Kamu memilih Lyn karena kuda itu memang tampak indah. Kamu merasa pantas di atasnya, meski kamu belum terbiasa benar menungganginya. Kamu tidak tahu ke mana Kapten Vigo akan membawamu berkuda, tapi kamu pikir dengan memilih Lyn, itu juga merupakan bentuk latihan.
Kamu pasang pelana dan tali kekang. Sedikit kesulitan karena Lyn terlalu banyak bergerak saking semangatnya. Setelah sedikit bersusah payah, kamu tuntun Lyn keluar istal. Tak lupa kamu matikan lampu minyak.
Suasana masih gelap, namun langit mulai merasakan sentuhan pagi. Kamu tunggangi Lyn menuju gerbang depan Markas Perisai Senja.
Kamu temui Kapten Vigo telah menunggangi kudanya dan gerbang telah terbuka. Beliau menunggumu.
“Ayo,” kata sang Kapten sambil memacu pelan kudanya melewati gerbang.
Kamu hentakan kakimu perlahan, memberi Lyn perintah untuk mengikuti Kapten Vigo. Kamu rasakan hentakan kaki Lyn yang ingin lebih cepat, namun kamu terpaksa menarik lagi tali kekang karena tidak ingin mendahuli Kapten Vigo.
Markas Biro Perisai Senja sebenarnya terletak di luar benteng Kota Terania; merapat ke benteng barat kota. Meski demikian, otoritas masih berada di bawah Pemerintah Kota Terania, karenanya pajak masih harus dibayar kepada Pemerintahan Walikota, meski tidak sebesar bila markas berada di dalam benteng. Mungkin itu salah satu keuntungannya. Keuntungan yang lain adalah masalah logistik pangan yang bisa langsung bernegosiasi dengan petani di sekitar atau nelayan dari desa asalmu yang memang letaknya tidak jauh. Negatifnya, bila ada serangan musuh, maka Markas Biro Perisai Senja merupakan basis pertahanan awal kota Terania—atau lebih tepatnya korban pertama bila ada serangan.
Kalian berkuda mengitari benteng kota, menuju gerbang kota. Awalnya kamu berpikir kalau Kapten Vigo hendak memasuki gerbang kota, tapi ternyata beliau hanya melewatinya dan terus memimpin perjalanan ke arah timur. Kamu bisa melihat langit mulai terang di cakrawala.
“Apa agendamu hari ini, Ray?” tanya Kapten Vigo, tib-tiba membuka percakapan.
“Membantu Tuan Radit di bengkel, Tuan. Dan jika nanti siang Tuan Cyrus telah kembali dari ekspedisinya, saya akan membantu bongkar muatannya,” jawabmu seraya memperpendek tali kekang agar Lyn lebih terkendali. Kamu bisa merasakan Lyn tidak suka ada kuda Kapten Vigo di depannya.
“Kalau aku memberimu misi pengawalan, kamu sanggup?” kata Kapten Vigo.
Mendengar itu kamu sempat terperangah. Tapi perhatianmu terbagi oleh Lyn yang tidak ingin kalah dengan kuda Kapten Vigo.
“Sa—saya merasa terhormat, Tuan. Apa yang mesti saya kawal?”
“Bukan apa, tapi siapa,” jawab Kapten Vigo seraya menghentikan kudanya.
Kamu pun berhenti. Kamu tarik tali kekang agak kencang hingga Lyn meringkik.
Kamu perhatikan arah pandangan sang Kapten tertuju pada puncak sebuah undakan bukit di cakrawala. Tidak tinggi, juga tidak jauh. Puncak dari undakan itu menjadi semacam jalan setapak yang berbatasan dengan pagar milik seorang petani. Dari undakan bukit itu kamu bisa melihat dua sosok pengembara muncul. Atau lebih tepatnya dua sosok bocah.
Kamu mengernyit heran. Dua bocah itu sangat berbeda satu sama lain. Perempuan dan laki-laki; yang perempuan jauh lebih tinggi dari yang laki-laki. Yang perempuan berambut pirang, sementara yang laki-laki berambut merah. Namun, dari raut wajah mereka, kamu tidak bisa menyingkirkan asumsi kalau mereka kakak beradik. Tapi, yang membuatmu heran adalah, mereka memakai semacam seragam sekolah berwarna abu-abu—atau semacam seragam akademi. Kamu melihat dua sosok pengembara yang tidak siap melakukan perjalanan. Kamu tidak melihat mereka membawa perbekalan.
Mereka melihat kalian saat mereka berada di puncak undakan itu. Si kakak merentangkan tangan kirinya, mencegah adiknya melangkah lebih jauh lagi. Menyadari kehadiran kalian, si adik beringsut dan merapat ke kakaknya.