To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #2

Satu

“Saya hanya berniat membantu.”

Tanpa gentar, aku menatap pria berambut kelabu yang duduk di seberangku.

“Karena tidak ada yang tampak peduli saat keponakan Anda mendorong salah satu adik tingkatnya ke kubangan lumpur dan mengatainya banci hanya karena bidikan panah anak itu melenceng beberapa jengkal dari seharusnya.”

Mendengarku menyebut keponakan kesayangannya, bibir pria itu mengatup begitu rapat hingga nyaris setipis garis. Di sebelahnya, asistennya yang berperut buncit dan berkepala botak mendengkus tak suka.

“Beginilah jadinya kalau seorang anak perempuan dibesarkan tanpa ayahnya. Benar-benar tak tahu aturan,” cibir si asisten gendut dalam bisikan yang cukup keras untuk kudengar. Everett Arnott, pria beruban di depanku, spontan melempar lirikan tajam ke arah asistennya. Bibirnya sudah kembali terbuka, tapi sebelum sepatah kata pun terlontar dari sana, aku mendahuluinya.

“Oh ya, sayang sekali,” aku menantang tatapan merendahkan si asisten botak, “Jadi tidak ada yang mengajari saya bagaimana caranya mempermalukan orang di depan umum lalu merasa keren setelah melakukannya.”

“Kau—”

“Roderick, tolong. Dan kau juga, Adlerwick.”

Everett Arnott ganti menatapku sekarang. Sorot matanya memohon sekaligus penuh peringatan, jadi sekalipun berniat membantah—aku hanya membela diri, oke?—pada akhirnya aku menghormati permintaannya dengan menutup mulutku. Lagi pula, Ibu selalu bilang aku harus bersikap sopan pada orang-orang tua.

“Terima kasih,” sahut Everett datar, “Kembali soal apa yang terjadi tadi. Jujur, kuhargai kepedulianmu terhadap anak malang itu, Adlerwick, tapi caramu mengekspresikannya sedikit... salah.”

Pilihan katanya membuatku mengangkat bahu.

“Bukan saya yang mengajak keponakan Anda berduel memanah. Dia yang mulai.”

“Ya, tadi Emmett juga mengaku begitu. Tapi bukan itu masalahnya.”

Everett menghela napas dengan berat di ujung kalimatnya sebelum melanjutkan. Dari raut seriusnya, aku sudah bisa menebak apa yang ia anggap masalah di sini. Apa yang dianggap semua orang masalah di sini.

“Kau perempuan, Adlerwick, dan perempuan tidak memegang senjata di Bordo.”

Ya, aku sudah mendengarnya ratusan kali.

“Jadi siapa yang mengajarimu memanah seperti tadi?”

Nah. Kalau yang ini, aku belum pernah dengar. Saat menerima tantangan keponakan sombongnya tadi, aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan bakal ditanyai begini sebagai akibatnya.

Bagus. Sekarang aku harus menjawab bagaimana?

“Apa itu penting?” aku akhirnya menyahut, “Sebenarnya apa masalahnya saat seorang gadis belajar melindungi dirinya sendiri? Semua anak laki-laki diizinkan belajar memanah di sini. Saya tidak mengerti kenapa saya tidak boleh melakukan hal yang sama hanya karena saya perempuan.”

Untuk kedua kalinya sejak ia menyuruhku duduk di depan meja kerjanya, Everett Arnott menghela napas.

“Kita diciptakan berbeda karena suatu alasan, Adlerwick. Dan seringkali, alasan itu ada untuk diterima, bukan untuk dipertanyakan.”

“Seperti kenapa kita tidak boleh menyeberang ke Otherside?”

Saat kata keramat itu meluncur keluar dari mulutku, nuansa tegang yang dari tadi menggantung di udara seketika bertambah keruh. Si asisten gendut menatapku tak percaya, sementara Everett memijit pangkal hidungnya dengan ujung jari.

“Sepertinya aku paham sekarang kenapa semua guru di sekolahmu menyebutmu biang masalah,” ia menatapku sengit, “Apa ibumu sudah tahu juga soal ini?”

Mendengar Ibu mendadak disebut-sebut, aku mengernyit.

“Ibu? Kenapa—”

Tiga ketukan beruntun dari arah pintu memutus kalimatku. Saat aku menoleh, seorang pria berambut jagung melongokkan kepalanya dari balik daun pintu yang sudah terbuka sedikit.

“Maaf mengganggu, Tuan,” cicitnya, “Tapi Nyonya Adlerwick sudah di sini.”

Lihat selengkapnya