Ayah adalah misteri terbesar dalam hidupku. Sosok yang buatku tak pernah ada, bahkan dalam rupa nama ataupun cerita-cerita abstrak tentang hidung mancung atau alis tebal. Sosok yang membuatku merasa semakin berbeda dibandingkan anak-anak perempuan kebanyakan, yang tahu rasanya menantikan ayah mereka pulang dari ladang lalu menjerit-jerit senang saat digendong di atas pundak.
Tidak seorang pun di Bordo tahu di mana atau seperti apa orang itu. Ibu sendirian saat pertama kali menginjakkan kakinya di kota ini, dan masih sendirian hingga sekarang. Ia tidak pernah bercerita tentang orang itu pada siapa pun—tidak pada Bibi Freya, sahabatnya, atau bahkan padaku, anaknya. Aku sendiri kerap bertanya dalam hati kenapa aku tidak punya ayah, tapi seumur hidup, hanya sekali aku pernah mencoba mengutarakannya pada Ibu.
Waktu itu umurku sepuluh. Bordo tengah sibuk menyambut Hari Ayah, yang menurut tradisi dirayakan tepat tiga minggu setelah hari pertama panen musim semi. Api unggun besar disiapkan di alun-alun, dan sudut-sudut kota dihiasi batang-batang gandum yang dirangkai menyerupai buket. Guru melukisku di sekolah berniat memeriahkannya juga, jadi ia menyuruh anak-anak didiknya menggambar ayah masing-masing sebagai hadiah. Seisi kelas menyambut titah wanita itu dengan antusias, sementara aku menjadi satu-satunya yang tak tahu harus menggambar apa. Saat aku akhirnya memutuskan menggambar Ibu saja, salah satu anak sekelas menghampiriku hanya untuk mencemooh kanvasku yang masih kosong.
Namanya Eyna. Badannya paling bongsor sekelas dan wajahnya yang bulat serata papan cucian. Ia cukup sering membuat onar di sekolah, tapi guru-guru enggan menegurnya karena ayahnya adalah salah satu pedagang terkaya di Bordo. Biasanya ia tidak pernah menggangguku, tapi entah kenapa ia memilih cari masalah denganku hari itu. Dengan suaranya yang selantang ringkik kuda, ia mengumumkan pada seisi kelas, “Lihat, Lyrod tidak tahu harus menggambar siapa karena dia tidak punya ayah! Ibuku bilang ayahnya kabur karena tidak tahan punya anak senakal monyet, tapi ayahku bilang ibunya pasti menikah dengan monyet sehingga punya anak senakal ini!”
Dan semua orang tertawa. Termasuk guru melukisku. Mereka menganggapnya lucu. Baru saat aku berdiri dan menampar wajah rata gadis jelek itu dengan palet di tanganku, tawa mereka berganti menjadi jerit histeris. Aku dan Eyna lantas terlibat saling jambak yang tak imbang—aku hanya setinggi dadanya waktu itu dan bobotku mungkin hanya separuhnya—hingga guru melukisku datang melerai dan menggiring kami ke ruangan kepala sekolah.
Ibu disuruh datang, ibunya Eyna tidak. Aku dijatuhi hukuman skors dua minggu, Eyna tidak. Aku yang jahat, Eyna tidak.
Ibu sudah bilang, aku tidak mungkin mengganggu siapa pun kecuali diganggu duluan. Ibu juga bersikeras Eyna seharusnya mendapat hukuman yang sama denganku karena “lelucon”-nya yang tak tahu sopan. Tapi sia-sia saja. Semua orang mengabaikan pendapat Ibu. Aku yang salah, Eyna tidak.
Jadi saat Ibu mengambilkan segelas susu hangat untuk menghiburku sekembalinya kami ke rumah siang itu, aku menampel gelas pemberiannya hingga isinya tumpah membasahi seluruh permukaan meja makan. Dan tangis yang kutahan sejak ditertawakan di kelas meledak begitu saja.
“Aku tidak mau susu!” teriakku waktu itu, “Aku mau ayahku! Kenapa cuma aku yang tidak punya ayah di kelas? Karena aku nakal?”
Bukannya marah karena sikap kurang ajarku, Ibu malah memelukku. Erat, sebelum ia mulai menangis juga. Aku tidak melihat air matanya, tapi dari gemetar bahunya serta parau dalam suaranya, aku tahu. Ibu menangis. Yang pertama dan satu-satunya yang pernah kusaksikan seumur hidup.
“Maafkan Ibu,” isaknya, masih mendekapku erat-erat, “Ini salahku, bukan salahmu. Maafkan Ibu.”
Aku tidak tahu untuk apa tepatnya Ibu meminta maaf, tapi aku tahu aku tidak ingin melihatnya menangis seperti itu lagi. Jadi sejak hari itu, aku berhenti berusaha mencari tahu tentang ayahku. Kebetulan Eyna dan keluarganya meninggalkan Bordo tidak lama setelah hari celaka itu. Entah bagaimana, perselingkuhan ayahnya Eyna dengan guru melukisku serta setengah lusin perempuan muda lainnya ketahuan orang sekota, dan mereka terpaksa angkat kaki dari Bordo karena tidak tahan digunjing orang. Tidak ada lagi yang berani usil soal ketiadaan ayahku, setidaknya di depanku ataupun Ibu, dan misteri tentang orang itu pun tetap tertutup rapat hingga detik ini.
Hari ini, menyaksikan Bibi Freya bertukar janji di depan altar dengan pengrajin keramik dari ibu kota yang meminangnya, mau tidak mau aku teringat lagi soal ayahku sendiri. Dan dekorasi mawar putih sederhana yang menghiasi seisi kapel membuatku mau tidak mau bertanya dalam hati. Saat Ibu menikah dengan ayahku dulu, seperti apa suasananya? Berapa banyak orang yang datang? Siapa saja? Apa hari itu Ibu tersenyum selebar Bibi Freya hari ini? Kalau iya, kenapa pria yang membuatnya tersenyum seperti itu tidak lagi bersama kami sekarang?
“Aku tidak pernah melihat Ibu sesenang ini,” bisik Meredith di sebelahku, membuyarkan lamunanku. Kami berdua duduk di bangku paling depan bersama Ibu, mengenakan sepasang gaun kembar selutut bernuansa putih gading. Sesuai permintaan Bibi Freya, kami memang didapuk menjadi pengiringnya hari ini. Jadi Ibu menghiasi kepanganku dengan kelopak mawar putih seperti hiasan rambut Meredith, dan aku dengan sukarela membiarkannya membubuhkan riasan tipis pada wajahku.
“Setuju,” aku balas berbisik, “Tapi kau jangan menangis, Mere. Mengerikan kalau riasanmu sampai luntur.”
Aku meminjamkan saputanganku padanya dan Meredith menyikut rusukku sebagai balasannya. Kami tertawa kecil sebelum aku melirik Ibu yang duduk di sebelahku, yang tengah memperhatikan Bibi Freya di depan sana dengan sepasang mata yang juga basah. Pertanyaan-pertanyaan yang sempat hilang bermunculan kembali dalam kepalaku, tapi saat Ibu membalas lirikanku dengan tatapan bertanya, aku menggeleng.
Ini hari yang luar biasa, Lyrette, jangan merusaknya dengan keegoisanmu.
Dentang lonceng kapel sedetik kemudian mengembalikan perhatianku ke arah altar. Sang pastor mengakhiri prosesi yang dipimpinnya pagi ini dengan mempersilakan Phineas Strumm, ayah baru Meredith, mengecup kening Bibi Freya. Tanda bahwa keduanya sudah resmi sepasang suami-istri sekarang. Aku mengusap punggung Meredith yang masih menangis haru sementara tamu yang lain bertepuk tangan, lalu bersama-sama, kami semua menuju halaman belakang kapel untuk perayaan sederhana yang sudah disiapkan di sana.
Seperti bagian dalamnya, pekarangan kapel hari ini dihias dengan dekorasi mawar putih di beberapa sudut. Sebuah meja kayu panjang diletakkan di satu sisi, dengan taplak rajutan menutupi permukaannya dan berbagai hidangan tersaji di atasnya. Kalkun panggang, sup daging rusa, kentang tumbuk dan salad, juga kue-kue beraneka rupa yang jumlahnya lebih dari cukup untuk menjamu hampir lima puluh orang yang datang. Semuanya disiapkan oleh Ibu bersama beberapa wanita lain, kecuali kue-kuenya. Nyonya Vaughnstein yang membuatnya.
“Bibi Freya! Selamat, ya!” aku mendahului Ibu memeluk wanita itu sebelum ia mulai sibuk dengan tamu yang lain. Bibi Freya menepuk keras punggungku dengan lengan gempalnya sebagai balasan.
“Terima kasih, sayang!” balasnya sembari mengurai pelukan kami, “Ya ampun, lihatlah dirimu! Kau cantik sekali hari ini! Seharusnya kau berdandan begini juga setiap hari!”
Aku tertawa, menggeleng.
“Tidak, Bibi, terima kasih. Lagi pula kalau aku melakukannya setiap hari, apa spesialnya aku melakukannya juga hari ini?”
“Kau terlalu pandai bicara, Lyrette,” Bibi Freya mendecakkan lidah, “Tapi aku serius. Kau bahkan lebih cantik dari ibumu hari ini. Ya kan, Felinda?”
Ibu merangkulku dari samping, tersenyum kalem.
“Anak ini lebih cantik dariku setiap hari, Frey,” sahutnya, “Kurasa aku berubah pikiran. Kau berutang lima ratus yrgid padaku untuk semua yang ada di meja itu.”
Bibi Freya terbahak, begitu pun Meredith yang berdiri di sebelahku serta Phineas yang berdiri di sebelahnya. Pembawaan pria itu memang serupa dengan Bibi Freya: hangat dan menyenangkan. Ditunjang postur tambun serta janggut cokelat terangnya, pria itu tidak tampak seperti tambahan yang asing di tengah keluarga kecil Morwendahl.
“Oh ya, maafkan aku. Aku lupa anak ini mewarisi selera humor sarkastisnya darimu,” kata Bibi Freya setelah puas tertawa. Ibu hanya mengangkat bahu, dan setelah ia menghadiahkan pelukan hangat serta ucapan selamat pada sahabatnya itu, Meredith mengajakku menyingkir ke meja hidangan sehingga orang tua kami bisa leluasa mengobrol dengan tamu yang lain.