Aku berlari seperti dikejar beruang, mengabaikan teriakan dari segala arah yang menyuruhku berhenti. Ini balai kesehatan, bukan lapangan!—tapi masa bodoh. Aku hanya ingin segera tiba di sana, tapi lorong-lorong celaka ini seolah memanjang hingga tak berujung sekarang. Dan setelah melewati dua belokan serta belasan orang yang nyaris—sebagian sudah—kutabrak, pintu yang kucari akhirnya kelihatan juga. Tanpa pikir panjang aku membukanya, dan jantungku seolah meledak di dalam dada saat sosok yang duduk di atas tempat tidur menoleh padaku. Tersenyum.
“Ibu!” aku menjerit, lupa sama sekali bahwa aku sejatinya tidak boleh teriak-teriak di tempat ini, lalu menghambur memeluk Ibu. Tawanya yang menggema lemah di telingaku terdengar seperti musik paling melegakan di dunia.
“Mereka bilang kau pingsan!” semburku saat Ibu mengurai pelukan kami, “Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, kan? Mereka bilang apa? Dokter Kyle bilang apa?”
“Satu-satu, Lyrette,” Ibu tertawa kecil, merapikan helai-helai rambut yang lolos dari kepanganku setelah aksi lari-lariku, “Aku baik-baik saja. Mereka melebih-lebihkan.”
“Tapi—”
“Aku hanya sesak napas sedikit, makanya Nyonya Alfonse membawaku kemari. Dokter Kyle sudah memberiku obat tadi, dan dia bilang, kalau kondisiku stabil sampai nanti sore, aku tidak perlu bermalam di sini.”
“Jadi kau tidak pingsan?”
“Tidak.”
“Kau benar-benar baik-baik saja?”
“Seperti yang kaulihat, Lyrette. Aku baik-baik saja.”
Setelah ucapan Ibu mengendap ke dasar pikiranku, baru aku bisa mengembuskan napas lega. Aku duduk di tepian ranjang, merasakan lelah yang sempat kuabaikan perlahan menjalariku kembali.
Oh ya, biar kujelaskan sedikit. Nyonya Alfonse yang dimaksud Ibu adalah pemilik kedai kecil di tengah kota tempat Ibu bekerja sebagai juru masak. Orangnya sedikit galak, tapi baik. Waktu aku kecil dulu, ia kerap memberiku manisan saat Ibu membawaku serta karena tidak mungkin meninggalkanku di rumah sendirian selama bekerja. Lalu Dokter Kyle. Pria paruh baya berambut klimis itu adalah satu dari belasan pria yang lamarannya ditolak Ibu. Aku tidak pernah terlalu menyukainya, tapi sebisa mungkin aku menjaga sikap di depannya karena bagaimanapun juga, dialah yang mengobati Ibu selama ini.
Sepanjang ingatanku, Ibu memang selalu batuk. Debu membuatnya sesak napas, dan udara dingin serta kelelahan memperburuk semuanya. Gejalanya tidak begitu parah saat aku masih kecil dulu, tapi kondisinya menurun beberapa tahun belakangan. Bibi Freya pernah membujuknya untuk mencari pengobatan alternatif ke ibu kota, tapi Ibu menolaknya mentah-mentah. Ia baik-baik saja, katanya. Tapi melihat wajah pucatnya serta bunyi napasnya yang kian berat sekarang, aku jadi ragu.
“Nyonya Vaughnstein tidak marah kau kemari siang-siang begini?” Ibu bertanya selagi merapikan kepanganku. Aku menggeleng pelan, menonton bagaimana jemarinya dengan cekatan mengurai rambutku lalu menjalinnya kembali.
“Ibu.”
“Hmm?”
“Kau tidak berniat mempertimbangkannya lagi?”
Ibu mengikat simpul di ujung kepanganku sebelum balas menatapku.
“Sarannya Bibi Freya. Suami barunya mungkin bisa membantu—”
“Aku tidak akan ke mana-mana, Lyrette.”
Nada bicaranya lembut, tapi ada ketegasan di sana. Keteguhan yang memberitahuku bahwa argumen apa pun yang kulontarkan tidak akan cukup kuat untuk menggoyahkan keputusannya. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja.
“Ibu—”
“Aku baik-baik saja, Lyrette, sungguh.”
Ibu menangkupkan kedua tangannya pada pipiku, lalu tersenyum.
“Aku baik-baik saja,” ia meyakinkanku, “Percayalah padaku.”
Pada akhirnya, Dokter Kyle bilang Ibu boleh pulang. Pria itu hanya menambah sedikit dosis obat yang biasa ia berikan pada Ibu tapi selebihnya, tidak ada berita mengkhawatirkan yang ia sampaikan. Ibu hanya butuh istirahat dan segalanya akan pulih seperti sedia kala.
Aku tidak percaya.
“Kau yakin tidak bisa membujuknya untuk mencoba ke ibu kota?”