Aku mengetuk dua kali, lalu menunggu. Tidak sampai lima detik berlalu, suara berat yang familier terdengar dari balik pintu di hadapanku.
“Masuk.”
Aku memutar kenop dengan hati-hati, membukanya sedikit, lalu melongokkan kepalaku melewati celah antara daun pintu dan kusen.
“Anda memanggil saya, Nyonya?”
Dari balik meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan buku serta berlembar-lembar perkamen, Nyonya Vaughnstein mendongak sekilas ke arahku.
“Ya, ya, masuklah. Duduk,” katanya, lalu kembali memeriksa berkas di depannya. Dengan sedikit ragu aku masuk juga, duduk di kursi kosong di depan meja kerjanya.
Selama empat tahun aku bekerja di toko rotinya, baru dua kali aku memasuki ruangan kecil di bagian belakang toko alias ruang kerjanya ini. Yang pertama bersama Ibu, saat kami “melamar kerja” di tempat ini. Yang kedua kurang lebih dua setengah tahun setelahnya, saat Nyonya Vaughnstein memutuskan untuk menggandakan gajiku agar aku tidak minta berhenti dan pindah ke tempat lain.
Tidak, ini bukan eksploitasi anak atau semacamnya. Memang sudah lazim bagi remaja tanggung usia tiga atau empat belas tahun di Bordo untuk membantu di tempat-tempat yang sekiranya akan menerima mereka bekerja saat dewasa nanti. Semacam pembiasaan sebelum benar-benar jadi dewasa. Anak-anak laki-laki akan diperbantukan di bengkel-bengkel kereta kuda, balai memanah, tempat pemotongan kayu, dan sejenisnya. Anak-anak perempuan hanya diizinkan membantu di toko roti, toko pakaian, tempat penitipan anak, dan sejenisnya. Jangan harap menemukan anak gadis magang di balai memanah. Itu “pekerjaan laki-laki”, katanya. Begitu pun sebaliknya. Anak-anak laki-laki tidak belajar memasak ataupun mengurus anak, karena itu “pekerjaan perempuan”.
Paham, kan, kenapa aku dianggap pembuat onar?
Memasak adalah satu-satunya “pekerjaan perempuan” yang becus kulakukan. Makanya Ibu membawaku ke tempat ini, toko roti terbaik yang bisa kautemukan di Bordo. Untungnya Nyonya Vaughnstein yang cerewet puas dengan cara kerjaku, jadi aku masih tercatat sebagai salah satu pekerja toko rotinya hingga sekarang. Yah, kecuali kalau ia memanggilku kemari siang ini untuk—akhirnya—memecatku.
Wanita tambun itu membiarkanku menunggu hampir lima menit lamanya sebelum akhirnya menyingkirkan berkas yang ia baca ke sudut meja. Tanpa menghiraukanku, ia lalu mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya dan meletakkannya di hadapanku. Sepasang seloki dan sebuah botol kaca berisi cairan cokelat kemerahan. Rum. Atau sejenisnya. Nyonya Vaughstein menuangkannya ke dalam seloki, lalu menyodorkan salah satunya padaku.
“Selamat ulang tahun.”
Aku mengerjap, heran. Selama empat tahun menjadi pekerjanya, tidak sekali pun ia memberiku ucapan selamat di hari ulang tahunku.
“Anda... tahu?”
Nyonya Vaughnstein mendengkus. Atau terkekeh, entahlah. Kedengarannya mirip.
“Aku selalu tahu, Adlerwick,” sahutnya, “Tapi tidak ada ulang tahun yang patut dirayakan kecuali yang ke-18. Jadi, selamat.”
Ia mengangkat seloki di tangannya, mengajakku bersulang. Aku menurut, dan saat melihatku mengernyit usai mencecap alkohol pertamaku, Nyonya Vaughnstein tertawa keras.
“Bagaimana rasanya?”
Menahan diri tidak menjulurkan lidah di depannya, aku menyahut, “Pahit.”
Nyonya Vaughnstein tersenyum, mengangguk puas.
“Selamat datang di dunia orang dewasa.”
Normalnya, aku bukan penyuka kejutan. Aku lebih senang segalanya dibicarakan gamblang dari awal, tanpa rahasia yang ditutup-tutupi atau hal-hal buruk yang dipermanis. Tapi hari ini berbeda. Sepertinya aku mulai paham alasan sebagian besar orang menyukai kejutan, terutama di hari-hari istimewa dalam hidup mereka.
Kejutan kedua yang kudapat hari ini, setelah ucapan selamat Nyonya Vaughnstein serta rum pahitnya yang tak terduga, datang dari Meredith. Saat aku pulang dari toko roti—dan semburat oranye di langit barat telah bercampur dengan ungu dan kelabu, tanda senja akan segera berlalu—Meredith menyambutku di depan pintu rumah dengan seloyang bolu di tangannya. Permukaannya tidak rata, tapi aromanya mengundang selera.
“Ya ampun, Mere, kau membuatnya sendiri?” aku menatap bolu di tangannya tak percaya. Sekalipun mahir meracik obat, Meredith memang payah soal memasak.
“Tentu,” Meredith meringis, bangga sekaligus tersipu, “Bagaimana menurutmu?”
“Jelek!”—dan Meredith seketika cemberut—“Tapi baunya harum!”