To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #6

Lima

Waktu selalu terasa begitu lambat saat kau sedang menantikan sesuatu.

Entah sudah berapa kali aku mendongak ke arah jam kukuk tua yang tergantung di dekat pintu dapur sepagian ini, tapi jarumnya seolah tidak bergerak sama sekali! Beruntung ini adalah hari yang cukup—maksudku amat—sibuk di toko roti, jadi ada banyak hal yang bisa mengalihkan pikiranku dari apa yang dijanjikan Ibu semalam.

Temui aku di bawah Dedalu Besar. Aku akan menceritakan semuanya padamu.

Demi awan-awan di langit. Sekalipun tidak pernah menyatakannya terang-terangan, jauh di dalam hatiku, aku selalu berharap hari ini datang. Hari saat Ibu akan menceritakan semuanya padaku. Semua yang selama ini disimpannya rapat-rapat dariku. Sebagian diriku sudah tidak sabar ingin segera mendengarnya, sebagian lagi bertanya-tanya kenapa Ibu memilih hari ini untuk akhirnya berbagi rahasianya denganku, dan sebagian lagi merasa sedikit... takut. Entah akan apa, tapi—

“Adlerwick! Berhentilah bengong atau aku akan sungguhan memecatmu!”

Bentakan Nyonya Vaughnstein menamparku kembali ke kenyataan. Kembali ke dapur toko rotinya yang gerah dan sibuk.

Fokus, Lyrette. Fokus.

“Maaf,” aku mencicit, lalu kembali memindahkan pai-pai dari loyang ke dalam kotak-kotak di hadapanku. Pai apel di sebelah kanan, pai daging di sebelah kiri. Ada ratusan kotak yang harus kuisi, semuanya dipesan oleh Everett Arnott untuk perayaan hari jadi balai memanahnya nanti sore. Dan menurut catatan yang digantungkan Nyonya Vaughnstein di dekat jam kukuknya, bukan hanya itu pesanan yang harus kami tangani hari ini. Ada banyak pesanan lain yang harus diselesaikan.

Menjelang jam makan siang, laju kesibukan di dapur—akhirnya—sedikit berkurang. Nyonya Vaughnstein tidak ingin ada pekerjanya yang pingsan karena melewatkan makan siang di hari sesibuk ini, jadi ia menyuruh kami semua beristirahat dan menyantap bekal masing-masing sebelum kembali bekerja. Hanya tiga puluh menit. Makanya semalam aku memberitahu Meredith untuk mengambil sendiri bekal makan siangnya hari ini, tapi rupanya ia memutuskan mengutus orang lain untuk melakukannya.

Ya, siapa lagi kalau bukan Greg Stheilmann.

“H-hai,” pemuda canggung itu menyapaku saat aku menemuinya di depan toko dengan dua kotak bolu labu—satu untuk Meredith, satu untuknya. Aku tidak mengerti kenapa ia selalu tampak takut tiap kali bertemu denganku padahal menurut Meredith, ia tidak begitu pada yang lain.

“Hei,” aku balas menyapa, “Titip punya Meredith juga, ya. Terima kasih.”

Aku menyerahkan kotak di tanganku padanya, dan Greg menukarnya dengan beberapa keping yrgid. Ia membayar dengan uang pas, jadi aku tidak perlu repot-repot memberinya kembalian. Aku baru berniat masuk untuk melanjutkan makan siangku sendiri saat cicitan gugupnya terdengar lagi, “Ah—um, Adlerwick.”

Aku batal berbalik. “Apa?”

Bukannya menjawab, Greg malah merogoh-rogoh saku mantelnya dengan terburu-buru, menghabiskan lebih dari setengah menit mencari sebelum mengeluarkan sesuatu dari saku dalam mantelnya dan menyodorkan benda itu padaku. Sebuah buku saku tentang aneka bunga dan tanaman obat. Aku pernah membaca yang lebih lengkap di perpustakaan.

“Ehm, ini... buatmu.”

“Oh,” aku mengerjap, “Terima kasih, tapi kau tidak perlu—”

“Selamat ulang tahun.”

Oh, oke. Aku sudah bisa menebak bagaimana pemuda ini bisa tahu aku baru saja berulang tahun, tapi aku bertanya juga, “Meredith memberitahumu?”

Greg mengangguk. Aku berhasil menahan diri tidak memutar bola mataku di depannya.

“T-Tapi kalau kau tidak menyukainya, tidak masa—”

“Tidak apa, terima kasih.”

Buku saku yang ia sodorkan berpindah ke tanganku.

“Ibuku selalu bilang tidak baik menolak pemberian tulus dari orang lain jadi, yah, terima kasih. Kau baik sekali.”

Wajah Greg memerah saat ia tersenyum padaku, lega sekali kelihatannya.

“Maaf, tapi kurasa aku harus masuk sekarang. Hari ini benar-benar sibuk dan aku tidak akan bisa melewatinya tanpa makan siang.”

“Oh, ya, ya, tentu, masuklah,” Greg mengangguk-angguk, “Terima kasih—maksudku, semoga harimu menyenangkan.”

Aku tertawa kecil. “Semoga harimu juga.”

Baru saja aku menginjak ambang pintu depan toko, Greg lagi-lagi memanggilku, “Ah—um, Adlerwick.”

Aku terpaksa berbalik. “Ya?”

Greg Stheilmann menatapku seperti seseorang yang hendak dieksekusi.

“M-Minggu depan, akan ada pasar malam di alun-alun. Kau mau—kau tidak keberatan kalau kita—maksudku, aku—ehm—mengajakmu ke—ke sana?”

Ekspresi gugupnya benar-benar menggelikan, tapi kurasa tidak sopan menertawakannya. Jadi, setengah mati menahan agar senyumku tidak terlampau lebar, aku menyahut, “Boleh. Nanti kuberitahu Meredith juga. Kita bisa ke sana sama-sama.”

Lihat selengkapnya