Segalanya berlangsung begitu cepat. Terlalu cepat, hingga otakku tidak berhasil memprosesnya dengan benar. Setiap gerakan mengabur, setiap suara memudar. Duniaku jadi bisu, dan tidak ada warna yang terlihat olehku selain merah.
Hanya beberapa saat setelah pria asing dari seberang itu berhenti kejang sekaligus berhenti bernapas, orang-orang dari balai kesehatan menaikkan tubuh Ibu ke atas tandu yang mereka bawa. Aku tidak ingat bagaimana kami akhirnya tiba kembali di balai kesehatan bersama Ibu yang sudah tidak sadarkan diri. Yang jelas aku membuat kegaduhan, memaksa Dokter Kyle datang ke ruang gawat darurat saat itu juga bersama Bibi Freya dan entah siapa lagi untuk menolong Ibu.
Aku tidak diizinkan masuk saat Ibu kemudian dibawa ke dalam sana untuk ditangani, jadi Meredith terpaksa menelantarkan pekerjaannya di ruang obat demi menemaniku. Aku menangis dalam pelukannya, ketakutan, sementara waktu rasanya merangkak begitu lambat. Setiap detik terasa seperti satu jam yang menyiksa, hingga Bibi Freya akhirnya keluar lagi menemuiku. Wajahnya berantakan, matanya basah. Saat aku bertanya apa aku boleh masuk melihat Ibu, ia memelukku.
Lalu ia menangis. Lalu Meredith juga.
Saat itu juga aku tahu. Bahkan sebelum darahnya yang menempel pada pakaian serta telapak tanganku mengering, Ibu sudah pergi.
Pergi begitu saja. Meninggalkanku sendirian.
“Lyrette.”
Suara Meredith terdengar setelah dua ketukan samar. Aku mengabaikannya.
“Lyrette, ini aku.”
Meredith mengetuk lagi. Aku, masih meringkuk di atas ranjang Ibu sambil menatap ke luar jendela, mengabaikannya lagi.
“Lyrette, boleh aku masuk?”
Aku tidak menyahut, tapi sedetik kemudian, pintu kamar Ibu berderit terbuka. Dari sudut mataku, kulihat Meredith melangkah masuk dalam diam, lalu duduk di sebelahku. Tatapannya terasa berat di sisi wajahku, tapi aku terlalu enggan untuk menanggapinya.
Aku lelah.
Lelah menghadapi semua orang yang mendadak bersikap simpatik padaku. Yang datang silih-berganti dari pagi hingga senja, mengaku sama-sama merasa kehilangan Ibu. Lelah memutar ulang sepotong permintaan maaf terakhir yang kudengar dari Ibu di dalam tidurku, lalu mengarang ratusan skenario berbeda yang seharusnya bisa kulakukan untuk mencegahnya terjadi saat aku terbangun dengan mata sembap. Seandainya aku datang menemuinya lebih cepat hari itu. Seandainya aku membujuknya lebih keras untuk pulang saja. Seandainya aku lebih peka dan menyadari bahwa penyakit Ibu tidak pernah membaik. Seandainya Ibu tidak meminta Bibi Freya dan semua orang merahasiakan kenyataan itu dariku.
Seandainya, seandainya, seandainya.
Enam belas hari sejak Ibu pergi, dan otakku masih saja mengulang kalimat-kalimat yang sama, seandainya-seandainya yang sama. Enam belas hari sejak Ibu pergi, dan lubang besar yang ia tinggalkan dalam hatiku masih serupa kawah yang selamanya tidak akan tertimbun. Enam belas hari sejak Ibu pergi, dan aku masih berharap—setiap detik—bahwa ini semua hanya mimpi buruk belaka. Bahwa suatu hari aku akan terbangun dan mendapati Ibu masih ada di sisiku. Menertawakan kecerobohanku, meladeni keingintahuanku, mendengarkan cerita-ceritaku.
Tapi itu tidak akan terjadi. Ibu sudah pergi, dan sekalipun aku rela menukar nyawaku sendiri dengannya agar ia tetap di sini, tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya.
Ibu sudah pergi.
“Kau masih ingat apa yang kaukatakan hari itu, waktu kau menolongku dari anak-anak sekelas yang mengataiku babi cacaran gara-gara wajahku berjerawat?”
Kepalaku berputar pelan, dan kulihat Meredith menatapku lembut. Enam belas hari sejak Ibu pergi, setelah semua orang pergi juga bersama rasa simpati mereka untuk melanjutkan hidup masing-masing, hanya Meredith dan ibunya yang masih tinggal. Enam belas hari sejak Ibu pergi, saat aku mengunci diriku rapat-rapat dari dunia, hanya Meredith dan ibunya yang masih bertahan.
“Setelah kau menendang bokong Hariett sampai anak itu tersungkur ke lumpur di sebelahku, kau meneriakinya. Kau bilang bahkan babi lebih baik dari anak-anak itu karena babi tidak akan mendorong temannya sendiri ke sungai dan mengatainya ikan.”
Meredith tertawa kecil di ujung kalimatnya. Ajaibnya, sudut bibirku turut berkedut sedikit.
“...Aku heran kau masih mengingatnya.”
“Mana mungkin aku lupa, Lyrette. Hanya kau yang bisa mengucapkan hal seaneh itu keras-keras tanpa tertawa.”
Meredith tertawa lagi dan, walaupun sedikit, tawanya itu menular padaku. Bunyinya lebih mirip dengkusan tapi... aku tertawa. Setelah segala yang terjadi, kupikir aku sudah lupa caranya tertawa.