Hening.
Setelah pertanyaan itu terlontar dari bibirku, seisi ruangan seketika berubah hening. Darah seolah terkuras habis dari wajah Bibi Freya, dan sekalipun ia beberapa kali membuka mulut, pada akhirnya ia menutupnya kembali sebelum sepatah kata pun terlontar dari sana. Ia tidak menjawab. Tidak menyangkal, mengiakan juga tidak.
Buatku, itu sudah cukup.
“Itu tidak mungkin.”
Kepalaku berputar pelan ke arah Phineas, begitu pun Meredith dan Bibi Freya.
“Kan?” pria tambun itu menyambung, menatap kami bertiga bergantian dengan kebingungan yang nyata pada suara serta wajahnya, “Maaf, Lyrette, tapi setahuku, tidak pernah ada yang menyeberangi... Sungai, dari sisi mana pun. Setidaknya, begitulah yang kudengar di ibu kota. Bukankah di sini—”
“Ya,” potong Bibi Freya, “Ya, tentu saja, Phin. Di sini juga begitu.”
Spontan, aku kembali menoleh padanya.
“Tapi—”
“Oh ya, aku baru ingat kita kehabisan gula, Phin. Bisa tolong belikan sedikit di pasar? Dengan mentega juga.”
Begitu saja, aku tidak jadi melanjutkan kalimatku. Phineas, sekalipun tampak sama bingungnya denganku, tanpa keberatan menyetujui permintaan mendadak Bibi Freya. Dan segera setelah pria itu meninggalkan kami bertiga, Bibi Freya menggamit tanganku dan menggenggamnya erat. Senyum terpaksa yang tadi ia palsukan di depan suaminya sudah tidak lagi terlihat pada wajahnya, tergusur oleh raut serius sekaligus sedih.
“Kita bicara di dalam, sayang.”
Bibi Freya mengintip keluar sekali lagi, memastikan suaminya benar-benar sudah berangkat ke pasar di pusat kota, sebelum menutup tirai jendela kamarnya dan duduk di depanku. Aku sendiri berbagi duduk bersama Meredith di tepi tempat tidurnya, sama-sama menatap wanita itu lekat-lekat. Cukup lama ia hanya balas menatap kami—menatapku—dalam diam, sebelum akhirnya bicara juga.
“Kau tidak boleh memberitahukannya pada siapa pun, Lyrette.”
Aku mengerjap, tenggorokanku mendadak terasa kering.
“Jadi... aku benar?”
Seolah berlangsung dalam gerakan lambat, kulihat Bibi Freya mengangguk.
Jadi benar. Ibu memang menyeberang kemari dari Otherside. Seperti pria bercambang yang kemudian mati mengenaskan hari itu.
Demi awan-awan di langit.
Aku memang tidak pernah bisa menganggap Bordo seutuhnya rumah. Semua orang memperlakukanku seolah aku berbeda, dan aku selalu kesulitan menganggap diriku bagian dari mereka. Selama ini, aku selalu berusaha memakluminya karena bagaimanapun, Ibu sendiri bilang ia hanyalah pendatang di Bordo.
Tapi, Otherside? Dari semua tempat yang mungkin menjadi tempatnya berasal?
Ini terlalu... mencengangkan. Rasanya seperti ada sebuah jangkar besar dilesakkan paksa ke dasar perutku. Maksudku, aku dibesarkan bersama pemikiran bahwa Otherside adalah tempat terlarang yang berbahaya. Lalu sekarang aku diberitahu dari sanalah Ibu sejatinya berasal? Dan bukankah Ibu kemari dalam keadaan mengandung diriku? Bukankah itu berarti aku juga...
“Keadaannya benar-benar menyedihkan sewaktu aku pertama kali bertemu dengannya, sayang.”
Suara Bibi Freya menamparku kembali ke kenyataan. Ia menatapku lekat dari kursi tempatnya duduk, raut sedihnya bertambah kelam.
“Waktu itu aku sedang mencari jamur untuk obat demam Edith. Aku tidak bisa menemukannya di pasar ataupun di tepian hutan tempat aku biasa mencarinya, jadi aku nekat mencoba mencari di sekitar Sungai. Aku sudah berniat pulang saat aku mendengar suara rintihan dari arah Dedalu Besar. Awalnya aku ketakutan, tapi kuputuskan mengeceknya juga. Kupikir ada pemburu yang tersesat atau binatang liar yang terluka, tapi aku malah menemukan ibumu.”
Bibi Freya mengusap matanya yang mulai basah, menghela napas.