Aku berlari. Menembus kabut, membelah padang ilalang setinggi dadaku. Napasku putus-putus, tenggorokanku rasanya seperti terbakar, kedua kakiku mulai mati rasa, tapi aku terus berlari. Sendirian. Hingga sebuah suara lantang mirip lengkingan burung—mungkin gagak—terdengar dari atas. Aku pun berhenti dan mendongak, mendapati sekelebat bayangan merah melintas di tengah kelabunya langit. Aku menyipitkan mata untuk melihatnya lebih jelas, tapi angin kencang menerjang wajahku, memaksaku memejamkan mata. Dan saat itulah suara Ibu menggema dalam telingaku.
Batas memilih siapa saja yang boleh melewatinya.
Lalu aku melihat Ibu menoleh padaku, tersenyum.
Aku merindukanmu. Setiap hari.
Dan aku membuka kedua mataku. Padang ilalang serta kabut tebal yang menaunginya menghilang dari pandanganku, digantikan dinding serta lantai kayu kamar Ibu tempatku berbaring. Surat-surat Ibu berserakan di sekitarku.
Jadi aku... ketiduran. Aku tidak ingat kapan tepatnya aku mulai tertidur—yang terakhir kuingat adalah aku membaca ulang surat-surat Ibu sambil menangis, lalu berbaring di lantai karena kelelahan. Selanjutnya aku tak tahu, tapi kurasa aku baru saja bermimpi. Tentang padang ilalang dan bayangan merah di langit. Dan Ibu.
Itu semua... apa artinya?
“Lyrette?”
Suara Meredith seperti terdengar dari kejauhan, diikuti beberapa ketukan pelan dari arah pintu depan. Mengabaikan pening yang mendera kepalaku serta nyeri pada bahu serta punggungku, aku bangun, bergegas keluar kamar untuk membukakan pintu. Senyum Meredith seketika luruh sewaktu ia melihat wajahku di balik daun pintu yang terbuka.
“Lyrette, kau baik-baik saja?”
Kurasa kombinasi kepala pening, menangis semalaman, serta kurang tidur membuat wajahku menyiratkan sebaliknya, tapi aku mengangguk saja.
“Aku hanya... sedikit sulit tidur,” aku beralasan, “Ada apa? Ini masih pagi.”
“Oh, ini,” Meredith mengacungkan buntalan kain yang ia bawa, “Ibu menyuruhku membawakan sesuatu untukmu, jadi kita bisa sarapan sama-sama. Atau kau mau sarapan dengan Ibu dan Phineas juga di rumahku?”
Aku belum punya cukup energi untuk menghadapi banyak orang—dan dua terasa terlalu banyak untuk saat ini—jadi aku menggeleng. Sebenarnya aku juga tidak berharap ditemani siapa-siapa sekarang, tapi aku tidak tega menolak Meredith juga setelah ia susah payah mendatangiku pagi-pagi begini hanya untuk membawakanku sarapan. Jadi aku membuka pintu lebih lebar dan mengajaknya masuk. Setelah aku mencuci muka dan merapikan rambutku, kami pun mulai sarapan. Kami makan dalam diam—dan pikiranku berulang kali kembali pada surat-surat Ibu—hingga Meredith akhirnya memecah keheningan.
“Omong-omong, ada sesuatu yang mau kuberitahukan padamu.”
Di seberangku, Meredith meletakkan sendoknya lalu melipat kedua lengan di atas meja. Ekspresi wajahnya tampak serius, membuat hatiku seketika mencelus.
Ada apa lagi sekarang?
“Setelah ini, apa rencanamu?”
Pertanyaan Meredith membuatku mengerjap. Kupikir ada hal buruk yang terjadi—mungkin ada orang lain yang entah bagaimana mengetahui asal-usul Ibu juga, lalu menyalahkan Bibi Freya karena menolongnya dulu, lalu mulai mengganggu Meredith dan keluarganya, lalu—
“Kau akan kembali bekerja di toko roti?”
Kali ini, aku mengernyit.
“Maksudmu?”
Meredith berdeham pelan sebelum menepikan mangkuk sarapannya yang sudah kosong.
“Begini, Lyrette. Sebenarnya aku sudah diberitahu sejak dua minggu lalu, tapi dengan semua yang terjadi padamu dan Bibi Felinda, aku dan Ibu memutuskan untuk tidak memberitahumu dulu.”
Tebakan-tebakan buruk mulai bermunculan dalam kepalaku, tapi aku menepis semuanya.
“Memberitahuku tentang apa?”
Ada jeda pendek sebelum Meredith menyahut.
“Masa magangku dipersingkat. Dan aku sudah mendapat tawaran bekerja di sebuah rumah sakit di ibu kota.”
Butuh beberapa detik sebelum aku memahami apa yang baru saja ia ucapkan.
“Jadi kau akan... pindah?”