Dedalu Besar masih tampak semegah kali terakhir aku melihatnya. Sulur-sulurnya meliuk ringan di tengah embusan angin fajar yang dingin, mengirimkan sensasi ganjil yang membuat bulu kudukku berdiri. Tapi mundur sudah kucoret dalam kamusku, jadi setelah menarik napas dalam-dalam untuk meneguhkan niat, aku berlari kecil menghampiri sosok raksasanya yang bungkuk.
Aku berhenti di bawah naungannya saat mencapai tepian Sungai, menghabiskan beberapa detik memandangi permukaan datar di hadapanku. Bulu kudukku kembali meremang saat skenario terburuk melintas di dalam otakku—bagaimana kalau aku sampai terjatuh ke sana? Aku tidak bisa berenang. Dan bukankah katanya... Sungai tidak berdasar?
Menepis ketakutan yang mulai timbul, aku mengambil sebutir kerikil di dekat sepatuku. Aku tidak berharap tergelincir saat menyeberang, tapi jaga-jaga tidak ada salahnya. Aku hanya perlu melemparkan kerikil ini ke dalam Sungai untuk melihat apa yang akan—
“A-Adlerwick?”
Kerikil di tanganku menggelincir jatuh ke tanah dan sekujur tubuhku seketika membeku.
Tidak. Tidak.
“Adlerwick, itu—itu benar-benar kau?”
Aku baru sadar tudung jubahku sudah melorot tertiup angin. Meneguk ludah, aku pun berbalik perlahan dan mendapati Greg Stheilmann berdiri hanya beberapa langkah di belakangku. Tangannya mencengkeram erat pegangan keranjang anyaman penuh jamur segar sementara wajahnya memucat seolah ia sedang melihat hantu.
Aku mengumpat dalam hati.
“A-Adlerwick—”
“Jangan,” cegahku, tepat sebelum pemuda itu melangkah mendekat. Greg mematung di tempatnya berdiri, menatapku lekat setelah melempar lirikan ngeri ke arah Sungai. Aku rasanya bisa melihat otaknya berputar begitu cepat di balik rambut gelapnya sementara kedua matanya berangsur melebar.
“Adlerwick, aku—kau tidak—”
“Ya.”
Dan pemahaman yang perlahan mewarnai wajahnya membuat pemuda itu tampak seolah ia siap pingsan sekarang juga.
“T-Tapi... kenapa?”
Cicitan serta tampang memelasnya membuatku menimbang sejenak. Tapi tidak.
“Aku tidak bisa memberitahumu,” sahutku, “Tapi apa pun yang kaukatakan, aku tidak akan berubah pikiran. Dan kurasa kau sebaiknya tidak memberitahu siapa pun tentang ini. Anggap saja kau tidak pernah melihatku di sini hari ini, jadi kau tidak perlu kena masalah.”
Greg tampak seperti ingin menangis sekarang, dan bohong namanya kalau kubilang kecemasan tulus yang terpancar dari kedua matanya tidak membuatku tersentuh. Tapi aku tidak bisa membuang lebih banyak waktu lagi. Matahari sudah mulai merangkak keluar dari peraduannya, dan Meredith bisa menyusulku kemari kapan saja.
“Terima kasih untuk bukunya, omong-omong,” aku menyambung, “Dan maaf soal... pasar malamnya.”
Greg terpaku sejenak sebelum buru-buru menggeleng, dan aku melempar seulas senyum padanya—yang terbaik yang bisa kuusahakan sekarang—saat menambahkan, “Jaga dirimu baik-baik, Stheilmann.”
Tanpa menunggu disahuti, aku berbalik dan melompat naik ke atas tonjolan akar Dedalu Besar yang paling dekat denganku. Greg memanggil namaku sekali lagi, tapi aku tidak menghiraukannya. Tanpa menoleh ke belakang, aku berlari kecil menyusuri liukan akar Dedalu Besar, mengikuti permukaannya yang naik turun membelah Sungai. Debar jantungku semakin cepat semakin aku mendekati tanah seberang, hingga sepatu botku akhirnya menjejak hamparan kerikil yang membentang selepas ujung akar Dedalu Besar.
Otherside.
Udara dingin yang menusuk tulang seketika memenuhi paru-paruku saat aku menarik napas dan berbalik, melayangkan pandang melintasi Sungai. Dan apa yang terhampar di seberang sana melumpuhkanku sejenak, membuatku sesaat melupakan takut, cemas, serta entah apa lagi yang menggerogotiku dari dalam.
Jadi inilah yang dilihat Ibu dulu, pada hari pertamanya tiba di sini.
Dedalu Besar rupanya tidak tampak sebesar itu saat dilihat dari sini, dan Bordo tidak lebih dari sebuah kejutan yang disembunyikan rimbunnya pepohonan yang berjajar melatari si pohon raksasa. Aku mengamati tiap detail yang bisa kutangkap di bawah sinar matahari yang mulai terbit, hingga tatapanku menangkap siluet satu sosok yang masih berdiri di tepian Sungai di seberang sana. Sekalipun tidak yakin ia bisa melihatku, aku melambai juga—setengahnya pada pemuda itu, setengahnya lagi pada Bordo serta segala yang kutinggalkan bersamanya di seberang sana. Baru setelahnya aku berbalik, dan padang ilalang setinggi dadaku menghampar seolah tak berujung di hadapanku, dengan kabut tipis menggantung bak tirai di atasnya.
Padang ilalang yang sama yang kulihat dalam mimpiku.