Aku pernah bertanya pada Ibu, seperti apa rasanya mati? Ibu bilang tidak seorang pun tahu, karena tidak pernah ada orang yang kembali dari kematian untuk menceritakan bagaimana rasanya kehilangan nyawa. Tapi sebagian orang percaya, mati berarti terbebas dari rasa sakit. Tubuhmu akan terasa begitu ringan seolah kau bisa terbang dan, seperti yang sudah kubilang, tidak ada rasa sakit.
Kelopak mataku terasa berat sekarang. Segalanya gelap, dan kecuali nyeri yang perlahan menjalari tiap sendi pada tubuhku, aku tidak merasakan apa-apa.
Jadi, apa artinya ini? Apa aku sudah mati? Tapi kenapa sakitnya masih terasa?
Lyrette.
...Ibu?
Lyrette, bangun.
Perlahan, aku membuka kedua mataku. Segalanya kabur selama sesaat, sebelum garis dan warna di depan mataku menjelma menjadi bentuk-bentuk yang lebih masuk akal. Rumput. Ya, rerumputan halus dan hijau menggelitik hidungku, membawa serta aroma tanah yang basah bersamanya. Butuh beberapa saat hingga aku sadar aku rupanya tengah berbaring miring di atas tanah berumput yang lembap, dan suara-suara yang tadinya seolah berasal dari jauh berangsur memenuhi pendengaranku.
Kicau burung. Dengung serangga. Desau angin yang melewati dedaunan.
Suara-suara... kehidupan.
Aku membuka mataku lebih lebar, lalu mencoba menggerakkan kepalaku. Leherku tidak patah. Jari-jariku juga, pun tangan serta kakiku. Sekalipun sekujur tubuhku nyeri seperti habis dipukuli bertubi-tubi, tidak ada tulang yang retak apalagi patah. Penglihatanku juga masih jelas, dan penciuman serta pendengaranku masih berfungsi sebagaimana mestinya.
Aku... masih hidup. Hidup, dan baik-baik saja.
Melawan keinginan untuk kembali memejamkan mata dan mencoba tidur, aku menghela diriku bangun. Duduk di atas rerumputan halus yang mengingatkanku pada ranjangku di rumah, lalu memandang sekeliling. Dan apa yang kulihat membuat rasa sakit yang menderaku sejenak terlupakan sama sekali.
Aku berada di tengah hutan sekarang. Pohon-pohon besar menjulang megah di sekitarku, bersisian dengan semak-semak pendek berdaun hijau segar yang dihiasi kembang serta beri aneka warna. Kupu-kupu bersayap cerah bermain-main di antaranya, sementara sepasukan semut berbaris rapi mendaki batang-batang pohon yang berlumut. Agak jauh di atas kepalaku, burung-burung mungil berbulu hijau, biru, dan kuning berkicau riuh, melompat-lompat dari satu dahan ke dahan yang lain di bawah naungan berlapis-lapis tirai cahaya yang menembus dedaunan.
Ini... menakjubkan. Bahkan indahnya rimba Bordo yang biasa kujelajahi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ini semua. Dengan segenap warna dan geliat kehidupan yang mengelilingiku sekarang.
Jadi inilah Otherside. Otherside yang sebenarnya.
Tapi tunggu. Bagaimana bisa?