His PoV
Jari-jariku bergerak dengan sendirinya memilin beberapa helai rumput yang tadi kucabut sementara aku menonton Pak Tua membubuhkan sentuhan akhir pada peta tidak-masuk-akal-nya. Ini sudah yang ketiga dalam dua minggu ini.
“Menurutmu ini bagus atau buruk?”
Pak Tua mendongak sekilas dari pekerjaannya, lalu memberiku kedikan bahu.
“Tidak ada yang buruk selama kita bisa mengatasinya,” ia menyahut, menambahkan beberapa deret angka di sudut kanan bawah petanya. Aku tidak mengerti. Bagaimana bisa ia berharap coretan abstrak begitu bisa dibaca?
“Bagaimana kau tahu harus mencoretkan apa di mana?”
Pak Tua hanya terkekeh sebagai jawabannya. Menyebalkan.
“Kau bilang kau mau mengajariku membacanya. Kapan?”
“Sudah kubilang,” Pak Tua meringis padaku, “Beritahu aku apa yang kaubaca pada potongan peta yang kuberikan padamu minggu lalu, dan aku akan mengajarimu membaca apa saja yang kau mau.”
Pak Tua terkikik di akhir kalimatnya, jelas sekali tidak berniat sedikit pun mengajariku membaca peta-petanya. Aku pun mendengkus kasar, mengeluarkan potongan “peta” yang kudapatkan darinya minggu lalu dari saku jaketku.
“Ini...” aku melambaikan sepotong perkamen sialan itu di depan hidungnya, “...bukan peta. Semua yang kaucoretkan di sini tidak ada artinya.”
“Usaha yang bagus, bung, tapi bukan itu jawabannya,” Pak Tua mengangkat bahu, lalu mulai membereskan pena bulu serta peralatannya yang lain. Sekali lagi aku mendengkus kasar—kalau ia tidak dengar yang pertama, kupastikan ia mendengarnya kali ini.
“Kalau begitu apa?!” semburku tak sabar, “Aku sudah melakukan seperti yang kaubilang padaku! Aku bahkan sudah membasahinya pakai divulgenta, ujung ke ujung, depan belakang, tapi tidak ada yang muncul!”
Kali ini Pak Tua menatapku dramatis, dan raut jenakanya menguap habis.
“Kau apa?”
“Aku membasahinya pakai—”
“Kau menghabiskan sisa divulgenta-ku?”
Aku mengangguk tanpa dosa dan satu pukulan ringan mendarat di puncak kepalaku.
“Membaca potongan yang kuberikan padamu tidak perlu pakai itu! Dasar anak bodoh!”
“Tapi kau sendiri yang bilang informasi yang paling penting biasanya disembunyikan!”
“Memang, tapi tidak dengan peta yang itu!”
Kalau diingat-ingat, ia memang bilang begitu sewaktu pertama kali memberikannya padaku. Tapi aku sudah putus asa. Mencoba tidak ada salahnya, kan?
“Kau tahu,” Pak Tua menghela napas, lalu geleng-geleng kepala, “Inilah kenapa aku tidak mengajarimu membaca peta. Kau tidak punya bakatnya, Nak, sama seperti aku tidak punya bakat melakukan apa yang kaulakukan.”
Bakat lagi, bakat lagi. Aku sudah bosan mendengarnya.
“Tapi sebagian Hunter membaca peta mereka sendiri.”
“Sebagian kecil, oke? Dan tidak ada yang salah dengan menjadi orang kebanyakan.”