To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #13

Dua Belas

Her PoV

Aku berlari menghampiri pohon terbesar yang bisa kutemukan, lalu menyembunyikan diri di antara tonjolan akarnya yang mencuat keluar dari tanah. Aku menarik kedua lututku makin rapat di depan dada, sementara kedua tangan mungilku menutupi mulut, menahan cekikikan yang nyaris keluar dari sana.

“Tiga puluh,” suara lembut Ibu terdengar jelas di kejauhan, “Oke. Kira-kira di mana gadis kecilku bersembunyi, ya?”

Aku tertawa di dalam hati. Debar jantungku meledak-ledak di dalam telinga, tapi aku berusaha mati-matian tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Bahkan aku sesekali menahan napas, agar Ibu tidak langsung menemukanku dalam hitungan detik seperti kali terakhir kami bermain petak umpet.

“Sepertinya gadis kecilku makin pintar bersembunyi sekarang,” suara Ibu terdengar lagi, bersamaan dengan bunyi langkahnya yang kian mendekat. Panik, aku pun memeluk lututku lebih erat, memejamkan mata.

Jadi bola, Lyrette, jadi bola. Jadilah bola dan menghilang dalam bayangan.

Saat aku kembali membuka mata, suara langkah Ibu sudah menghilang bersama pohon besar yang kujadikan tempat bersandar. Butuh beberapa saat sebelum aku menyadari bahwa aku tidak lagi duduk meringkuk bagai bola, melainkan terbaring telentang di atas—lagi-lagi—tanah berumput. Sesuatu yang empuk mengalasi kepalaku sementara aroma apak bercampur manis menguar samar dari selembar kain tipis yang menyelimuti tubuhku hingga ke leher.

Jadi aku hanya bermimpi.

Ingin rasanya aku tidur lagi, melanjutkan mimpi yang terputus agar bisa kembali bertemu Ibu, tapi gemercik air yang terdengar di kejauhan memupuskan niatku. Suaraku sendiri menyusul kemudian, menggema di dalam benakku yang berkabut.

Kau tidak pingsan di dekat sungai, Lyrette. Bangun.

Sekalipun berat, aku mendorong kelopak mataku terbuka. Perlahan aku bangun, menghabiskan beberapa saat duduk diam dengan mata terpejam untuk mengusir pening, sebelum memandang sekelilingku.

Langit masih terang, dan aku masih berada di dalam hutan. Hutan yang sama, kurasa, dari pepohonan kurus di sekitarku serta semak berdaun kebiruan yang mencuat di antaranya. Tidak ada siapa-siapa di sini, selain sebuah benda mirip pelana kuda yang disandarkan pada salah satu pohon agak jauh di sebelah kananku. Sebuah tas kulit berukuran besar teronggok di sebelahnya, berdampingan dengan ransel lain yang lebih kecil, sebuah tabung penuh anak panah perak serta sebuah busur.

Busur... ku. Busurku?

Sisa kesadaranku yang masih tercecer seketika terkumpul kembali. Buru-buru aku bangkit, terhuyung menghampiri barang-barangku untuk memeriksanya. Anak panahku tidak berkurang, isi tasku masih lengkap, dan yang terpenting, semua surat Ibu masih ada.

Rasa lega menyelimutiku selama sesaat, sebelum puluhan pertanyaan ganti menyesaki benakku.

Bagaimana aku bisa sampai di sini? Apa yang terjadi pada benda yang menjeratku dan cairan dingin yang membuatku pingsan? Sudah berapa lama aku pingsan? Siapa yang menolongku? Apa pelana serta tas kulit ini milik mereka? Tunggu, aku mesti menyebut “mereka” atau—

“Bangun juga akhirnya, Nona?”

Sebuah suara parau bernada jenaka membuatku menoleh. Seorang pria, mungkin seumuran Ibu atau bahkan lebih tua, muncul entah dari mana dan tahu-tahu saja sudah berdiri hanya beberapa langkah jauhnya di belakangku. Sosoknya dekil seperti gelandangan, terbalut jubah kelabu tua yang mengingatkanku pada sayap burung nasar. Wajahnya yang tirus dibingkai rambut cokelat kusam sebahu, gimbal dan diramaikan berhelai-helai uban. Ia menyeringai lebar padaku sewaktu tatapan kami beradu, tapi kombinasi giginya yang kekuningan serta sebilah belati yang mengintip dari balik jubahnya membuatku spontan mencabut sebatang anak panah dan mengarahkan busurku padanya.

“Wow, wow, wow, tenang dulu, Nona!”—si burung nasar seketika panik, mengangkat kedua tangan di depan dada ala orang menyerah. Aku berdiri, beringsut mundur untuk memperlebar jarak di antara kami dengan busur tetap teracung ke arahnya.

“Kita bisa bicara baik-baik,” katanya, “Tapi tolong turunkan dulu busurmu.”

Sementara kau sendiri membawa senjata? Yang benar saja.

“Dengar, Nona, aku tidak berniat—”

“Siapa kau?!”

“Maaf—apa?”

“Apa yang kaulakukan?!”

“Hah?”

“Padaku!”

“Padamu?”

“Apa yang kaulakukan padaku?!”

Lihat selengkapnya