To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #14

Tiga Belas

Her PoV

Meredith pernah memelihara seekor kelinci dulu, waktu kami masih kecil. Ia menamainya Augie, tapi aku lebih senang memanggilnya “si bola bulu” karena makhluk itu kerap meringkuk hingga menyerupai bola di tanganku. Aku cukup sering bermain dengannya hingga suatu subuh, seekor ular menyambangi pekarangan rumah Meredith dan mencaplok Augie yang malang. Sejak itu, kecuali saat berpapasan dengan kelinci liar atau anak terwelu sewaktu menjelajah hutan, aku tidak pernah benar-benar berinteraksi lagi dengan kelinci mana pun.

Sampai hari ini.

Sampai seekor kelinci putih sebesar gajah dewasa muncul di depan mataku, melompat histeris ke arahku.

Mimpi apa aku semalam?

“Box!”—kulihat si burung nasar berdiri agak jauh di depanku, kedua lengannya terangkat di udara—“Box, tenang, Box!”

Mungkin ia berniat menenangkan si kelinci gajah—namanya Box, serius?—tapi makhluk itu mengabaikannya dan meneruskan lompatannya. Beruntung aku berjongkok tepat pada waktunya, jadi makhluk berbulu itu hanya melintas di atas kepalaku alih-alih menabrak apalagi menindihku. Ia mendarat dengan debum mengerikan tepat di belakangku, sebelum merobohkan semak yang tadi kuterobos lalu kabur entah ke mana. Si burung nasar buru-buru mengejarnya, melewatiku begitu saja seolah ia tidak melihatku sama sekali.

...Apa-apaan ini?

Otakku rasanya seperti bertukar tempat dengan jantungku sekarang, tapi saat kupikir tidak ada lagi yang bakal mengejutkanku setelah seekor kelinci berukuran tak masuk akal melompat melewati kepalaku, rupanya aku keliru.

Ada sesuatu yang lain di bawah sana. Alasan kenapa si kelinci tampak begitu ketakutan. Saat aku melihatnya juga, nyaris diinjak kelinci seukuran gajah seketika tidak lagi terasa mengerikan buatku.

Monster. Aku melihat monster.

Makhluk itu besar, sekalipun tidak sampai sebesar si kelinci. Badannya ungu pucat, bersegmen dua seperti laba-laba. Lapisan kulitnya begitu tipis hingga aku bisa melihat jelas gurat-gurat kehitaman di bawahnya, jaringan pembuluh darah yang menyebar di sekujur tubuhnya. Kakinya ada delapan, mencuat masing-masing empat di kanan-kiri tubuhnya, ramping dan bersiku banyak dengan cakar yang menyerupai telapak tangan manusia pada tiap ujungnya. Matanya ungu juga, nyalang seperti beri beracun. Sorotnya rakus dan bengis, lebih buruk dari segala macam mimpi buruk yang pernah kulihat dalam tidurku sebelum ini. Sebuah tonjolan hitam menjijikkan berdenyut pada bagian atas tubuhnya yang belakang, sementara sebuah rongga bergigi kekuningan membuka di bawah kedua matanya. Desis panjang mengerikan keluar dari sana, lebih menyakitkan telinga ketimbang bunyi kuku mencakar permukaan logam. Dan bagian terburuknya, aku tidak hanya melihat satu monster di bawah sana.

Tapi dua.

Aku membatu di tempat sementara si pemuda bermata singa malah berlari turun ke arah sungai, menyongsong kedua makhluk itu dengan pedang terhunus. Salah satunya maju dengan kaki depan terayun menyerang, tapi pemuda itu menghindar tanpa kesulitan. Dengan cekatan ia menebas putus kaki-kaki makhluk itu sambil menyumpah-nyumpah, lalu memanjat naik ke atas punggung monster itu. Tanpa ragu ia menghunjamkan pedangnya pada tonjolan hitam di sana, dan cairan kental berbau busuk muncrat keluar saat si pemuda menarik senjatanya dengan gerakan memutar. Aku menutup kedua telingaku dengan tangan saat monster itu melolong keras, lalu ambruk ke tanah dan berkelejat mengerikan selama beberapa saat sebelum terdiam.

Mati.

Monster satunya, yang lebih kecil ukurannya, meraung marah melihat saudaranya terbunuh. Makhluk itu menerjang ke arah si pemuda, tapi pemuda itu lebih dulu meluncur turun dari bangkai monster yang pertama. Ia berguling di tanah saat monster yang kedua mendarat tepat di sebelahnya, lalu berdiri lagi dengan kecepatan yang mengagumkan dan ganti menerjang si monster. Aku tidak tahu bagaimana ia melakukannya, tapi pemuda itu berhasil naik ke atas punggung si monster, lalu menumbangkan makhluk itu dengan satu tusukan-lalu-tebasan telak.

Baru saja aku meloloskan napas yang dari tadi tertahan, semak-semak di sebelah kananku tersibak membuka. Saat aku menoleh, tatapanku beradu dengan sepasang mata ungu sebesar kepalaku.

Detik berikutnya, pemiliknya menerjang ke arahku.

 

His PoV

“AWAS!”

Aku berteriak tepat saat gadis dari seberang Batas itu melompat maju, menghindari terjangan makhluk sialan yang nyaris menerkamnya. Ia jatuh bergulung-gulung ke arah sungai sekarang, dengan monster sialan itu mengejar rakus di belakangnya.

Lihat selengkapnya