Lyrette
Cangkir tanah liat di tanganku terasa hangat, menguarkan asap tipis beraroma manis yang menenangkan. Langit masih belum gelap, tapi si burung nasar sudah menyalakan api unggun kecil untuk menjerang minuman hangat ini untukku. Susunan batu serta kayu bakarnya sama persis dengan bekas api unggun yang kutemukan sebelumnya.
“Minumlah, Nona,” si burung nasar berkata lagi melihat isi cangkir pemberiannya masih penuh, “Itu dari daun fairberry, bukan racun. Ampuh untuk pikiran kacau.”
Di sebelahnya, si pemuda bermata singa mengangguk padaku. Aku pun menurut, menyesap sedikit isi cangkir di tanganku. Rasanya manis—semanis aromanya—dan, ya, badai di dalam kepalaku berangsur mereda sekalipun belum sepenuhnya hilang.
“Benar, kan?” si burung nasar menyengir padaku.
Aku hanya mengangguk, menggumam, “...Terima kasih.”
Kami sedang beristirahat di tepian sebuah sungai sekarang, setelah berjalan hampir satu jam meninggalkan tempat mengerikan itu. Si pemuda terang-terangan meminta—menyuruh—ku ikut dengan mereka, jadi tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku belum siap bertemu monster itu lagi, apalagi dalam keadaan sendirian saja.
“Jadi, apa yang terjadi?” si burung nasar ganti menatap si pemuda sekarang, mata mengantuknya berkilat ingin tahu, “Tidak biasanya kau ceroboh begini.”
Si pemuda hanya mendengkus sebagai balasan, lalu kembali melanjutkan usahanya memerban goresan berdarah sepanjang satu setengah jengkal yang membentang dari siku hingga pergelangan tangan kirinya. Sebelumnya ia sudah membasuh lukanya itu dengan air sungai dan mengolesinya dengan cairan hitam yang kata si burung nasar adalah obat, tapi caranya melilitkan perban benar-benar... serampangan. Dan bisa-bisanya si burung nasar hanya menonton saja tanpa berniat membantu sama sekali.
Mereka memang ingin lukanya infeksi atau apa?
“Anu...” aku meletakkan cangkirku di tanah, “Aku bisa membantumu—”
“Jangan.”
Si pemuda menatapku tajam, dan seketika aku batal beringsut mendekatinya. Jangan, katanya?
“Aku memang bukan perawat, tapi kujamin aku bisa melakukannya lebih baik darimu,” sahutku tidak kalah tajam, membuat si pemuda mengerjap beberapa kali sementara si burung nasar terbahak di sebelahnya.
“Dia bukannya meragukanmu, Nona,” si burung nasar masih terkikik, “Tapi lebih aman membiarkannya melakukannya sendiri daripada ambil risiko tanganmu melepuh.”
Aku mengernyit. “Melepuh?”
“Liur Duinemanger beracun, dan sekalipun sudah dibersihkan, masih ada kemungkinan racunnya tertinggal di sekitar lukanya. Tanganmu bakal melepuh kalau kena juga.”
“Du—apa?”
“Duinemanger,” si pemuda yang menyahut, “Makhluk sialan yang nyaris mencaplokmu tadi.”
Aku tertegun, memutar ulang kalimatnya dalam kepalaku. Makhluk sialan yang—apa?
“Mereka makan manusia, seperti singa makan rusa. Liurnya beracun, cakarnya juga, dan kau hanya bisa membunuhnya dengan menikam otak jantungnya—tonjolan jelek yang tadi kaupanah. Dan kecuali dilapisi emas atau perak, senjatamu tidak bakal bisa menembus kulit sialan mereka.”
Spontan aku melirik tabung anak panahku. Itukah sebabnya semuanya berlapis perak?
“Yang kaulihat tadi masih anakan,”—suara si pemuda mengembalikan perhatianku padanya—“Tapi yang sudah dewasa bisa nyaris sebesar Box. Mereka lebih rakus, lebih pintar, dan kalau kau cukup sial, mereka bahkan bisa menembus masuk ke dalam pikiranmu dan membuatmu gila. Dan jumlah mereka ada banyak di tanah sialan ini. Aku tidak bermaksud menakutimu, tapi kalau kau berubah pikiran dan berniat pulang saja, sekarang saat yang tepat.”
Si pemuda kembali berkutat dengan perbannya setelah memungkasi penjelasan panjang lebarnya. Di sebelahnya, si burung nasar mengangguk setuju.
Pulang. Gemanya terdengar aneh di telingaku. Setelah Ibu pergi, ke mana lagi aku pulang?
“...Kalian tidak mengerti.”
Aku meremas jemariku sendiri, menatap lurus ke arah si pemuda yang sudah kembali mencurahkan perhatian penuhnya padaku.
“Aku membutuhkan ini.”
Entah hanya perasaanku saja atau memang begitu, sorot mata singanya tampak sedikit... melembut? Aku sudah siap membantah seandainya ia kembali menyuruhku pulang, tapi pemuda itu malah bertanya, “Ibumu tahu kau kemari?”
Mendengarnya menyebut Ibu, kedua mataku seketika memanas. Aku menelan ludah serta benih isakan yang mendadak bertumbuh pada jalur napasku, lalu menyahut, “Tidak. Ibu bahkan sudah pergi sebelum dia benar-benar memberitahuku bahwa dia datang dari sini.”
Sekalipun terkejut, dua pria di depanku ini tidak terang-terangan menunjukkannya.
“Aku turut prihatin, Nona,” si burung nasar yang bersuara, “Apa yang terjadi?”
Tidak ada canda dalam ekspresinya, dan simpati dalam suaranya terdengar tulus. Si pemuda turut menatapku dengan sorot melunak yang sama, menelantarkan sekali lagi perban pada lengan kirinya. Ada sesuatu dalam cara keduanya menatapku yang membuat kata-kata mengalir keluar begitu saja dari mulutku.
“Ibuku sakit. Dia berniat menceritakan semuanya padaku sebelum kehabisan waktu, tapi penyakitnya mendahuluinya. Aku baru tahu dia datang dari sini setelah dia pergi, dan aku juga menemukan setumpuk surat yang selama ini dia tulis untuk ayahku. Setelah membaca semuanya, aku hanya... aku harus menemukan ayahku. Aku harus menyampaikan surat-surat ibuku padanya. Dia harus tahu apa yang dirasakan ibuku selama ini.”
Aku berhenti di sana, susah payah menekan keinginan untuk menangis. Keheningan yang berat membungkus kami cukup lama hingga suara si pemuda terdengar lagi.
“Jadi, apa yang kaupunya?”
Aku mengerjap, setengahnya agar air mataku tidak jatuh dan setengahnya lagi karena aku tidak mengerti.
“Kau bilang kau punya petunjuk tapi tidak bisa mengartikannya. Petunjuk apa?”
Rupanya, pemuda itu menyimak—dan mengingat—ucapanku.
“Itu—kalian mau membantuku?”
Si pemuda menatap si burung nasar, tapi pria paruh baya itu hanya menyengir dan mengangkat bahu.