Asa
“Kau baik sekali semalam.”
Aku mendongak, nyaris saja menjatuhkan belati yang sedang kuasah. Di depanku, Pak Tua menyeringai penuh arti sembari membersihkan sisik tiga ekor ikan kurus yang ditangkapnya di telaga subuh tadi.
Sial, bagaimana—
“Padahal kalau aku yang begitu, kau pasti menjitakku sampai bangun lalu mengumpat.”
Sial. Bukannya ia masih mendengkur sewaktu aku menyelinap dari sisi Lyrette untuk mencuci muka tadi? Refleks, aku melirik batu besar yang mencuat di tepian telaga. Lyrette sedang membersihkan diri di baliknya, jadi gadis itu seharusnya tidak dengar Pak Tua bilang apa barusan.
“Jadi menurutmu aku mestinya begitu juga padanya?” geramku jengkel.
Pak Tua malah terkekeh. Menyebalkan.
“Tentu saja tidak, Nak. Aku justru senang kau baik padanya. Aku hanya sedikit heran.”
Aku mengernyit, menyarungkan kembali belati di tanganku.
“Maksudmu?”
Pak Tua berhenti menyisiki ikan kurusnya dan menatapku lekat-lekat.
“Kau anak baik, Asa, tapi biasanya baikmu tidak begini. Kau baik dari jauh, tidak pernah sedekat ini.”
Aku menelan ludah, merasakan berat tatapannya pada wajahku. Pak Tua tidak pernah memanggilku dengan nama, kecuali apa yang kami bicarakan tergolong serius.
“Kau keberatan?” balasku setelah terdiam cukup lama.
Pak Tua tertawa kecil, menggeleng.
“Tidak. Aku hanya tidak ingin kau menggunakan gadis itu sebagai caramu menebus dosa, karena tidak ada dosa yang perlu kautebus. Apa yang terjadi hari itu bukan salahmu.”
Hari itu. Begitu saja, kenangan tentang hari itu membanjiri ingatanku, tapi aku buru-buru menepisnya minggir sebelum rasa sakitnya mulai menguasaiku.
“Aku membantunya karena kita bisa melakukannya, Ray. Dan aku berutang nyawa padanya.”
“Setelah kau menyelamatkan nyawanya. Kau tidak berutang apa-apa padanya, Asa.”
Mungkin. Tapi aku butuh alasan.
“Ini tidak ada hubungannya dengan Maurielle,” tukasku akhirnya, “Percayalah padaku.”
Pak Tua menatapku lurus ke dalam mata, dan sekalipun aku ingin membuang muka, aku bertahan. Tatapannya melunak sesaat kemudian, disusul cengiran lebar menyebalkan yang mengembang pada wajah mengantuknya. Begitu saja, ia kembali menjadi Pak Tua yang biasanya.
“Aku selalu percaya padamu, Asa, kau tahu itu,” katanya. Ia lalu mengelap sisik ikan di tangannya dengan ujung jubahnya, sebelum merogoh tas dan melemparkan segulung perban padaku.
“Kau mau ke mana?” aku bertanya saat ia bangkit berdiri.
“Mencari ranting untuk membakar sarapan kita,” sahutnya sambil menguap, “Sekarang ganti dulu perbanmu. Darahnya ke mana-mana.”
Ia melenggang pergi dan aku menatap perban yang melilit lengan kiriku. Sial, benar juga. Darah kehitaman mulai merembes pada permukaan perban yang kemarin kulilitkan asal saja, dan sewaktu aku mengurainya, kulit di sekitar goresan panjang itu bahkan mulai memerah. Aku lupa kapan kali terakhir aku mendapat luka sebesar ini, tapi kurasa sudah lebih dari enam bulan yang lalu.
Dasar bodoh. Kenapa aku ceroboh sekali kemarin?
Mendengkus, aku pun membuka gulungan perban dari Pak Tua. Sedikit bau ikan, tapi ya sudahlah.
“Apa yang kaulakukan?”
Aku menoleh dan Lyrette tahu-tahu saja sudah berjongkok di sebelah kiriku. Aku nyaris mengumpat karena kemunculan mendadaknya, tapi untungnya berhasil menahan diri.
Wajah gadis itu tampak segar sekarang, dan kepangan rambutnya sudah dirapikan. Kilau emasnya seperti magnet yang menarik tanganku untuk sekadar membelainya, tapi aku masih cukup waras untuk menepis dorongan gila itu. Ia menatap luka pada lenganku tanpa jijik atau takut sama sekali, sebelum ganti menatapku. Dilihat di bawah sinar matahari pagi begini, sepasang mata bulatnya tampak menakjubkan. Rona hijau birunya mengingatkanku pada aurora yang kadang terlihat di langit subuh, cantik sekali.
“Kalau diperban seperti kemarin lagi, nanti sore saja lukamu pasti infeksi,” katanya, “Sini, biar aku saja yang melakukannya.”
Sebelum aku membantah, Lyrette sudah lebih dulu mengeluarkan gulungan perban dari tasnya sendiri. Ia memotong ujungnya sedikit dengan pisau lipat, lalu menggunakannya untuk membersihkan lukaku. Aku hanya diam memperhatikan wajah seriusnya, hingga tangan gadis itu mendadak berhenti bergerak. Ia menatap lukaku lekat, dan alisnya nyaris bertaut saat ia menggumam, “Bagaimana bisa?”