Lyrette
Aku tercengang saat melihat Box sudah “berdandan” rapi di tepian telaga, lengkap dengan tali kekang melingkari moncongnya serta semacam pelana terpasang pada punggung berbulunya. Aku sudah sering melihat penunggang kuda berlalu-lalang di jalanan Bordo, tapi penunggang kelinci tidak pernah terpikirkan olehku sama sekali, bahkan dalam mimpi paling absurd sekalipun.
Bagaimana tidak—seumur hidup, baru kali ini aku melihat kelinci yang berukuran cukup besar untuk ditunggangi manusia.
“Kita akan... menunggang Box?” aku memastikan, bertanya pada Asa selagi Ray mengikatkan tasnya pada bagian depan pelana di sekitar leher Box. Berdiri di sampingku, Asa mengangguk. Ia menatapku seolah aku yang aneh karena keheranan kami akan menunggang kelinci.
“Kau tidak takut ketinggian, kan?” ganti Asa yang bertanya.
“Tidak, tapi...” aku melirik Box yang masih asyik merumput, “...Kau yakin dia tidak apa-apa mengangkut kita bertiga? Maksudku—”
“Dia lebih kuat dari kelihatannya,” tukas Asa, “Dan kau enteng. Jadi tenang saja.”
Disebut ringan sekali lagi membuat kedua pipiku terasa panas. Aku mungkin tidak sempat merasa malu saat berguling dalam dekapan Asa sewaktu nyaris dilahap monster karena nyawaku di ujung tanduk waktu itu, tapi mengingatnya lagi sekarang rasanya... ah, sudahlah. Aku tidak pernah memeluk cowok mana pun seumur hidup, tapi kurasa apa yang terjadi waktu itu tidak bisa dihitung sebagai pelukan.
“Kau pernah naik kuda?”—suara Asa membuyarkan lamunanku.
Buru-buru aku menggeleng, berharap dalam hati wajahku tidak memerah.
“Kenapa memangnya?” aku balas bertanya.
“Tidak apa-apa,” Asa mengangkat bahu, “Hanya mau bilang kalau naik Box bakal lebih parah dari itu.”
Sebelum aku sempat bertanya lebih parah bagaimana yang Asa maksud, Ray memanggil kami berdua. Ia sudah duduk pada bagian depan pelana, dan dengan lambaian tangan memberi isyarat pada kami untuk naik juga.
Aku baru paham pelana itu rupanya terdiri dari dua bagian yang disambung dengan tali saat sudah sampai di sisi Box. Bagian depannya—yang diduduki Ray—terletak pada tengkuknya, sementara bagian belakangnya diikatkan pada punggungnya. Kelinci sebesar gajah itu dengan manja menyundul-nyundulkan hidungnya pada dada Asa, sebelum pemuda itu lalu menyuruhnya menempelkan perut ke tanah agar aku bisa melompat naik ke atas punggungnya. Box menurut dengan patuh, tapi posisi pelana yang seharusnya kududuki masih lebih tinggi ketimbang puncak kepalaku. Oke, kurasa aku harus memanjat. Tapi sebelum aku memutuskan harus memijak bagian mana agar tidak menyakiti kelinci ini, Asa menempatkan kedua tangannya pada sisi pinggangku dan mengangkatku begitu saja tanpa permisi. Detik berikutnya, aku sudah duduk dengan aman di atas punggung Box.
Sekarang aku mengerti kenapa ia berulang kali menyebutku ringan.
“Sebelum kita berangkat, aku perlu menegaskan satu hal,” Asa memberitahu, mendongak untuk menatapku lurus di mata. Aku sudah cukup terbiasa dengan tatapan serta nada bicaranya yang mengintimidasi, tapi tetap saja. Masih sulit tidak merinding saat beradu pandang dengannya begini.
“Kalau kita cukup sial dan bertemu monster keparat itu lagi di tengah jalan, lindungi dirimu sendiri,” Asa menyambung, “Panah otak jantungnya kalau bisa, tapi kalau tidak, kau bisa memanah matanya sebelum lari. Pokoknya, selamatkan dirimu. Tidak usah menghiraukanku atau Ray atau Box. Prioritaskan dirimu sendiri, mengerti?”
Spontan, aku menggeleng.
“Tidak.”
Asa mengerjap.
“Lyrette—”
“Kau tidak meninggalkanku saat monster itu hampir mencaplokku kemarin, jadi kenapa aku harus melakukannya padamu? Aku mau lari atau tidak, itu urusanku. Kau tidak berhak menyuruh-nyuruhku.”
Ray terkekeh tanpa suara di atas tengkuk Box, sementara Asa mengerjap beberapa kali. Pemuda itu menatapku lekat, tampak heran sekaligus... terhibur?
“Aku sudah memperingatkan,” ia mengangkat bahu.
Aku mengangguk.
“Terima kasih peringatannya, Tuan.”
Dan Asa tertawa kecil. Ia lalu naik juga ke atas punggung Box dengan satu lompatan ringan—ia membuatnya terlihat begitu mudah dilakukan—dan duduk tepat di depanku. Aku takjub pelana ini rupanya muat untuk kami berdua.
“Pegangan yang erat, Nona,” Ray lalu berkicau dari depan Asa, “Dan sebaiknya kau menurut kali ini, atau kau bakal terlempar di tengah jalan.”
Aku tidak ingin mati konyol gara-gara terpelanting dari punggung kelinci, jadi aku mencengkeram erat sisi pelana yang kududuki. Asa menoleh dari balik bahu kanannya, dan kulihat sebelah alisnya terangkat sewaktu melihatku memegangi sisi pelana.
“Pegangan, Lyrette,” desisnya.
Aku ikut-ikutan melirik tanganku sendiri sebelum kembali menatapnya.
“Sudah.”