To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #18

Tujuh Belas

Lyrette

Kami menempuh sisa perjalanan tanpa menunggang Box, hingga jalur yang kami lalui terputus oleh sebuah sungai yang melintang di hadapan kami. Sungai yang ini lebih lebar daripada yang pertama kutemui di Otherside, kurang lebih separuh Sungai lebarnya. Bebatuan aneka ukuran mencuat acak dari permukaannya, dan deras alirannya membuatnya tampak begitu normal sekaligus mengintimidasi.

“Koloni Lettie di seberang sana,” Ray setengah berteriak untuk mengalahkan deru aliran sungai, “Kurang lebih satu jam jalan kaki setelah kita menyeberangi ini.”

Aku mengangguk, lalu melayangkan pandang ke seberang. Tidak seperti di sisi ini, pepohonan di sebelah sana tumbuh lebih rapat dengan kanopi yang lebih rimbun. Tatapanku lalu bergeser menyusuri tepian sungai, mencari tanda-tanda keberadaan jembatan atau sejenisnya. Tidak ada yang terlihat.

“Bagaimana kita akan menyeberang?” aku bertanya, “Apa kita akan naik Box lagi?”

Berdiri di sebelahku, Asa menggeleng.

“Loncatannya tidak cukup jauh untuk sampai langsung ke seberang, dan mendarat di tengah aliran sederas ini risiko tergelincirnya besar,” katanya. Melihat derasnya aliran sungai di hadapan kami, aku seketika maklum.

“Lalu bagaimana?” aku bertanya lagi, “Tidak ada jembatan di sekitar sini.”

Asa menunjuk bebatuan yang mencuat di tengah derasnya aliran air, tidak jauh dari tempat kami berdiri.

“Kau lihat batu-batu itu?”—dan aku mengangguk—“Itu jembatan kita.”

Aku menatap bebatuan yang dimaksud Asa, lalu ganti menatap pemuda itu dengan mata membulat.

“Kau bercanda?”

“Tidak. Buat apa juga aku bercanda?”

Memang tidak seperti Ray yang bergurau nyaris sepanjang waktu, Asa dan lelucon bukan dua hal yang wajar disandingkan bersama. Setidaknya, itulah yang kulihat selama empat hari bersama mereka. Jadi, kurasa kami memang harus menyeberang melalui bebatuan itu. Masalahnya, bebatuan yang ia maksud begitu acak—letaknya, ukurannya, tingginya. Tidak seperti akar Dedalu Besar yang, walaupun naik turun, lurus tanpa putus menghubungkan dua sisi Sungai. Dan dari permukaannya yang berkilau tertimpa cahaya matahari siang, tidak perlu susah-payah berimajinasi untuk membayangkan selicin apa batu-batuan itu.

“Ray akan menyeberang duluan,” Asa menyambung, “Supaya Box berani menyeberang sendiri setelahnya. Setelah Box sampai di seberang, baru kita yang menyeberang. Oke?”

Aku ingin bilang tidak, tapi sebelum suaraku keluar, Ray mendahuluiku.

“Tenang saja, Nona, ini tidak sesulit kelihatannya.”

Pria itu menyengir padaku—dan aku seketika meragukan ucapannya—lalu melompat naik ke batu terdekat yang tadi ditunjuk Asa, dengan tas kulitnya tersampir di bahu. Apa yang terjadi selanjutnya membuatku tercengang: Ray melompat ringan dari satu batu ke batu yang lain, selincah anak kijang yang tengah bermain kejar-kejaran di hutan. Tidak sampai lima menit berselang, ia sudah mendarat di seberang dan melambai riang ke arah kami.

“Bagaimana dia melakukannya?” aku menatap Asa tak percaya.

Seringai lebar merekah di wajahnya yang bercodet.

“Aku juga heran,” ia mengedikkan bahu, lalu menghampiri Box dan berkata, “Ayo, gembul, giliranmu sekarang. Berhentilah makan.”

Asa menepuk-nepuk pantat Box dan, walaupun enggan, makhluk itu menurut juga. Dengan lompatan-lompatan kecil yang ragu, kelinci raksasa itu mendekati tepian sungai, lalu mendengus pelan dan menyundul sisi kepala Asa dengan hidungnya sebelum menceburkan kaki-kaki besarnya ke dalam air. Ray bersiul keras dari seberang sambil melambai-lambaikan tangan, dan perlahan tapi pasti, Box pun melintasi sungai menghampiri pria itu. Aku menjerit pelan tiap kali makhluk itu nyaris terpeleset, dan baru saat ia menginjakkan kaki dengan selamat di sisi Ray, aku bisa bernapas lega.

Tapi tidak lama.

“Giliran kita sekarang,” Asa mengumumkan, lalu naik ke atas batu pertama “jembatan” yang akan kami lalui dan berdiri di sana tanpa oleng sedikit pun. Melihatku tidak juga bergerak dari tempatku berdiri, pemuda itu menelengkan kepalanya.

“Kau bisa berenang?”—“Aku tidak bisa berenang.”

Kami mengucapkannya bersamaan. Hening yang canggung sesaat membungkus kami, sebelum Asa tertawa kecil dan sensasi panas mengaliri kedua pipiku.

“Baiklah,” ia menggaruk tengkuk, “Kalau begitu...”

Asa berbalik menghadapku, mengulurkan tangan kanannya ke arahku.

“Kau bisa membiasakan diri menunggang Box hanya dalam dua hari. Ini tidak ada apa-apanya dibanding itu. Kalau Ray saja bisa melakukannya, kau juga bisa.”

Kata-katanya sedikit banyak membesarkan hati, tapi tetap saja. Melihat keraguan masih memancar dari caraku menatapnya, Asa bersuara lagi. Lebih lembut kali ini.

“Kupegangi, Lyrette. Jangan takut.”

Lihat selengkapnya