Lyrette
“Urusan apa?”
Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku segera setelah Ray dan Laeticia menghilang dari pandangan. Laeticia mengajak Ray dan si bocah pirang yang kurasa bernama Lou itu masuk lebih jauh ke dalam koloninya, tapi Asa malah mengajakku menyusuri dek ke arah berlawanan.
“Nanti, Lyrette,” Asa menyahut dengan suara rendah, lalu mengedikkan kepala sebagai isyarat agar aku mengikutinya. Aku tidak suka ia mendadak bersikap sok misterius begini, tapi kuputuskan menurut dulu dan berjalan di belakangnya.
Kami bergerak ke timur, melewati beberapa undakan dan turunan serta jembatan gantung pendek yang menghubungkan bagian dek yang menempel pada pohon yang terpisah agak jauh. Beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang koloni ini—sekelompok wanita berambut pendek seperti Laeticia, pria-pria yang menenteng kapak di bahu mereka, juga anak-anak seusia si bocah pirang yang saling berkejaran. Asa hanya mengangguk sopan pada orang-orang itu tiap kali berpapasan—jadi aku melakukannya juga—dan aku bisa merasakan tatapan ingin tahu mereka menempel pada punggungku setelah kami lewat.
“Jadi Laeticia benar?” aku akhirnya buka suara saat dek yang kami susuri berangsur menyempit serupa jalan setapak dan tidak ada lagi mata-mata penasaran yang mengikuti gerak-gerik kami. Asa menoleh sekilas melewati bahu kanannya.
“Maksudmu?”
“Kau dan Ray tidak pernah membawa seorang gadis kemari.”
Lagi, Asa menoleh padaku melewati bahu kanannya.
“Kami tidak pernah membawa siapa-siapa kemari,” ia mengoreksi.
Aku mengangguk maklum.
“Pantas saja semua orang menatapku seolah aku ini barang langka atau apa.”
“Kau langka, Lyrette,” Asa menyahut dengan raut serius. Aku mungkin sudah tersanjung seandainya ia tidak kemudian menyambung dengan, “Kau orang pertama yang melompat masuk ke dalam perangkap beruang yang kupasang.”
“Aku tidak—oh, kau memang menyebalkan.”
Asa tertawa kecil dan, ajaibnya, tawanya itu menular padaku. Harus kuakui, semenjak bertemu dengan dua manusia ajaib ini di tengah hutan Otherside, aku mulai sering tertawa lagi sekalipun, yah, masih kerap sesak sendiri tiap kali teringat Ibu. Tapi bicara soal ajaib, aku jadi teringat satu hal.
“Omong-omong, kalian sudah lama mengenalnya?”
“Ray bilang Laeticia teman lamanya.”
Kelihatan, dari cara keduanya berbincang tadi.
“Dia juga seorang Hunter?”
“Setahuku Navigator.”
Aku mengerjap. “Tapi dia membawa belati.”
“Semua Hunter bersenjata, Lyrette, tapi tidak semua yang membawa senjata itu Hunter.”
“Seperti semua gagak hitam, tapi tidak semua burung yang hitam itu gagak?”
Kulihat Asa mengedikkan bahu. “Kurang lebih.”
Aku mengangguk paham.
“Lalu kenapa dia memanggilmu bocah ajaib?”
Kali ini, Asa tidak menyahut. Kurasa ia seharusnya mendengarku barusan.