Asa
Empat hari mengenal Lyrette, aku tidak terkejut melihatnya mengeratkan cengkeraman pada busurnya sewaktu menyadari aku mengunci pintu ruangan ini. Refleks gadis itu luar biasa, dan kemampuannya beradaptasi di atas rata-rata. Buktinya, ia hanya butuh dua hari untuk membiasakan diri menunggangi Box. Aku butuh sehari lebih lama dulu. Ia juga tidak satu kali pun tergelincir sewaktu menyeberangi sungai bersamaku tadi—yah, kecuali di akhirnya—padahal itu kali pertamanya melakukannya. Dan sekalipun ia mengaku belajar memanah dengan sembunyi-sembunyi, aku tahu ia tidak membunuh seekor Duinemanger hari itu berkat keberuntungan belaka.
Lyrette gadis yang cerdas, jadi sekalipun tatapan curiganya saat ini menyentil harga diriku, aku sepenuhnya maklum.
“Kita perlu memotong rambutmu, Lyrette.”
Detik itu juga, ekspresinya mengeras. Kebingungan sempat melintas pada sepasang mata hijau-birunya, tapi tidak lama. Detik berikutnya, ia sudah kembali menatapku tanpa gentar.
“Tidak.”
Sudah kuduga. Satu lagi yang kupelajari tentang Lyrette setelah empat hari mengenalnya: gadis ini kepala batu. Aku malah heran kalau ia langsung setuju dengan sukarela.
“Menurutmu bagaimana aku dan Ray bisa menduga kau datang dari seberang Batas bahkan sebelum kau memberitahu kami?”
Masih menatapku lekat-lekat, Lyrette mengernyit.
“Juga kenapa aku memintamu memakai tudung jubahmu dari tadi?”
Lyrette tampak merenungkan pertanyaanku sejenak, sebelum kembali menoleh ke luar jendela. Otaknya berputar keras selagi ia memperhatikan orang-orang koloni Laeticia di bawah sana, dan ekspresi tidak suka mewarnai wajahnya saat ia kembali beradu tatap denganku.
“Aku tidak wajib mengikuti adat orang-orang ini untuk menemukan ayahku.”
Sudah kubilang, Lyrette gadis cerdas.
“Tidak, tapi itu akan membuatmu lebih mudah membaur dan jelas lebih aman untukmu.”
“Aman?”
Aku menghela napas sebelum menyahutinya.
“Duinemanger menyukai rambut manusia, Lyrette. Pirang, terutama, dan panjang. Saat menemukan manusia seperti itu, mereka tidak akan langsung memangsanya, tapi lebih dulu menyeretnya ke liang mereka untuk dicabuti rambutnya. Lalu mereka akan menjalin rambut-rambut itu untuk menghias liang sialan mereka, baru kemudian memakan pemiliknya. Dan aku tidak sedang berusaha menakut-nakutimu. Aku pernah melihatnya sendiri.”
Dan masih muntah tiap kali usai memberantas liang sialan yang... dihiasi seperti itu. Di depanku, Lyrette tertegun dengan wajah memucat.
“Aku tidak berniat membiarkan makhluk sialan itu sampai melakukannya padamu, tapi berjaga-jaga untuk yang terburuk tidak ada salahnya.”
Lyrette lagi-lagi merenungkan ucapanku, sebelum berbalik memunggungiku. Tangan kanannya mencengkeram erat ambang jendela sementara ia menunduk, entah memikirkan apa. Cukup lama ia terdiam, hingga aku mendengarnya menghela napas. Pelan saja, tapi terdengar sekeras ledakan di tengah keheningan begini.
“...Aku memanjangkan rambut karena Ibu juga begitu.”
Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana, jadi aku diam saja. Mendengarkan.
“Aku senang tiap kali menghabiskan beberapa menit bersama Ibu di pagi hari sementara dia mengepang rambutku,” ia melanjutkan, “Lalu saat Ibu mengajakku ke pasar di pusat kota, orang-orang akan memujiku mirip dengan Ibu.”
Lyrette diam lagi setelahnya. Suaranya kedengaran seperti isakan yang tertahan, tapi sebelum aku menemukan kata penghiburan yang tepat untuk dilontarkan, aku mendengarnya menghela napas sekali lagi. Ia menengadah, menarik napas dalam-dalam, lalu menyandarkan busur yang dari tadi dipanggulnya ke dinding di bawah jendela. Ia lalu menanggalkan jubahnya tanpa berkata-kata, dan aku takjub menyadari betapa mungilnya gadis ini tanpa jubah hijaunya. Tatapanku turun perlahan mengikuti kepangannya, menyusuri garis lehernya hingga ke pinggang, hingga Lyrette mendadak berbalik dan menatapku lurus ke dalam mata.
Entah kenapa, aku merasa seperti baru saja terpergok mengintipnya berganti baju.
“Kau yang akan melakukannya?”