To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #21

Dua Puluh

Lyrette

Usai Asa menutup pintu, aku menghabiskan beberapa saat lagi memandangi pantulan wajahku di dalam cermin sebelum bangkit dan mengenakan jubah hijauku kembali. Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin, dan seorang gadis berwajah serupa denganku balas memandang dari dalam sana, dengan rambut yang ujungnya menggantung hanya seujung kuku di atas bahu.

Aneh. Sebanyak apa pun aku berusaha meyakinkan diri sendiri, rasanya masih saja aneh. Aku tidak pernah dipotong pendek seumur hidup. Panjang rambutku selalu melewati bahu, paling pendek setengah punggungku. Ibu pun begitu... hingga hari itu Bibi Freya bilang bahwa rambut Ibu bahkan tidak melebihi bahunya saat keduanya pertama kali bertemu.

Sekarang aku tahu kenapa. Juga kenapa Asa melakukan ini semua.

Omong-omong soal Asa, aku tidak menyangka tangan pemuda itu rupanya terampil juga urusan memotong rambut. Aku hanya tahu ia mahir melempar belati dan menebaskan pedang, selain kegemarannya mencabuti rumput untuk dianyam jadi hiasan di kala senggang. Jadi melihat rapinya potongan rambutku sekarang sedikit... mengejutkan. Lagi pula, ia bilang apa tadi? Aku bahkan lebih cantik daripada Ibu sekarang?

Asa mungkin panik melihatku menangis sampai mengarang penghiburan seabsurd itu, tapi tetap saja kedua pipiku menghangat hanya dengan mengingatnya sekarang. Oh, jangan norak, Lyrette—dan dua ketukan dari arah pintu seketika membuyarkan lamunanku. Kupikir Asa kembali lagi, tapi apa yang kutemui sewaktu membuka pintu bukanlah sepasang mata singanya, melainkan sepasang mata biru pucat yang menatapku ingin tahu.

“Lou?” aku memastikan, dan bocah di depanku mengangguk.

“Asa menyuruhku mengantarmu ke aula makan utama,” katanya polos.

“Oh,” aku mengerjap, dan sekalipun sama sekali tidak perlu diantar, aku menyambung, “Terima kasih, kau baik sekali.”

Lou meringis bangga dan tanpa keberatan menunggu selagi aku mengambil busurku di dalam. Saat aku keluar lagi dengan busur sudah terpanggul di bahu kiri, bocah itu menatapku dengan mata berbinar penuh ketertarikan. Atau lebih tepatnya, menatap busurku. Mungkin ia tidak menyadari keberadaan benda ini sewaktu aku baru datang tadi.

“Kau seorang pemanah?” ia bertanya.

“Kurang lebih,” aku mengangkat bahu, “Kenapa?”

“Ayahku juga seorang pemanah,” katanya, “Dia ingin aku bisa memanah sebaik dirinya, tapi aku tidak bisa. Memanah itu susah.”

Aku mengernyit. “Siapa bilang? Memanah tidak susah kalau kau tahu triknya.”

“Benarkah?” Lou balas bertanya, dan aku mengangguk tanpa berpikir.

“Aku bisa mengajarimu,” aku berjongkok di depannya untuk menyejajarkan wajah kami, “Kau mau?”

Seandainya aku menawarkan hal yang sama pada bocah laki-laki mana pun di Bordo, aku pasti bakal dipandang gila lalu didamprat habis-habisan oleh orang tua si bocah. Tapi Lou bukan bocah Bordo, jadi alih-alih menatapku seolah aku baru saja melontarkan lelucon paling tak masuk akal di dunia, antusiasme dalam kedua matanya malah semakin membara.

“Mau!” sahutnya penuh semangat, “Kau mau mengajariku?”

“Mau saja, tapi apa ayahmu tidak akan marah?”

“Tidak akan! Ayah sudah pusing karena bidikanku melenceng terus, tapi tidak ada pemanah lain yang mau mengajariku! Dia pasti senang kalau kau mau membantu!”

Jadi kami membuat kesepakatan—Lou akan memberitahu ayahnya lalu aku akan mengajarinya memanah nanti. Setelahnya, bocah itu pun menunaikan tugas yang diembannya dari Asa: mengantarku ke aula makan utama. Lou  berceloteh riang sepanjang jalan—kebanyakan soal ayahnya—dan sekalipun tatapan-tatapan penasaran masih sesekali ditujukan ke arahku, rasanya tidak lagi begitu mengganggu sekarang.

“Sampai ketemu nanti, Nona Lyrette!” Lou melambai padaku saat kami tiba di depan bilik besar yang menurutnya adalah tujuan kami. Ia berlari pergi untuk bergabung kembali bersama teman-temannya, sementara aku masuk ke aula makan.

Tidak seperti bilik tempat Asa memotong rambutku, ruangan yang ini jauh lebih besar ukurannya. Batang-batang pohon penyangga mencuat di beberapa titik dan meja-meja bundar ditata acak di sekitarnya, masing-masing dilengkapi tiga hingga lima kursi tanpa sandaran. Ada semacam dapur terbuka di sisi yang berseberangan dari pintu yang kulewati, lengkap dengan keranjang-keranjang penuh bahan segar, belanga serta berbagai alat makan tersusun rapi di satu sudut. Mungkin karena sudah lewat waktunya makan siang, hanya ada seorang wanita yang tampak sibuk di dapur sementara semua meja tidak terisi, kecuali satu di pojok.

Ray. Pria itu duduk menghadapi sebuah mangkuk kosong dengan Laeticia duduk di seberangnya, lalu melambai ke arahku sewaktu melihatku masuk. Keduanya kompak memasang senyum saat aku menghampiri meja mereka.

“Lyrette,” Laeticia menyapaku sembari bangkit berdiri, “Duduklah dulu. Biar kuambilkan sesuatu untukmu.”

Wanita itu berlalu ke arah dapur segera setelah aku berterima kasih padanya, dan aku pun duduk di kursi yang ia tinggalkan. Di seberangku, Ray menatapku dengan seringai lebar yang bikin risih.

“Kau tahu,” aku menyipitkan mata, menyadari tidak sedikit pun keterkejutan mewarnai wajahnya melihat penampilan baruku. Ray bersendawa keras, lalu terkekeh.

“Jadi,” ia menopang dagu dengan sebelah tangan, “Bagaimana rasanya?”

Spontan aku meraba tengkuk, sekadar memastikan rambutku yang tinggal sedikit ini masih menempel di sana.

“Rasanya seperti... tidak punya rambut.”

Dan Ray tertawa lagi. Dasar menyebalkan.

“Kau pasti segera terbiasa,” hiburnya, “Lagi pula, lebih bagus begini, Nona. Asa tidak bilang begitu juga tadi?”

Tidak, dia bilang aku bahkan lebih cantik dari ibuku sekarang.

Lihat selengkapnya