Asa
Lyrette hanya butuh satu hari untuk membaur dengan orang-orang koloni Laeticia lebih baik daripada yang bisa kuusahakan dalam lima tahun.
Gadis itu tanpa canggung turut membantu di dapur, memamerkan keahlian memasaknya yang beberapa hari belakangan hanya dinikmati olehku dan Pak Tua. Ia juga mengajari Lou serta beberapa bocah lainnya memanah layaknya seorang guru yang terampil—sulit dipercaya ia sejatinya dilarang menyentuh busur di tempatnya dibesarkan. Ia mengobrol akrab dengan orang-orang ini seolah sudah mengenal mereka bertahun-tahun, dan ia bahkan menghafal lebih banyak nama ketimbang yang berhasil ditampung memoriku setelah puluhan kali berkunjung kemari.
Malam ini, seperti semalam, Laeticia kembali mengajak Lyrette duduk bersamanya dan beberapa anak muda sebaya kami di meja tengah aula makan. Sepasang Hunter tengah merayakan pernikahan mereka, jadi ada lebih banyak makanan dihidangkan dan lebih banyak anggur disuguhkan malam ini. Beberapa orang juga memboyong seruling, kecapi, ketipung, serta entah apa lagi ke sudut aula, lalu menebar keributan ke seluruh penjuru ruangan. Semua orang bernyanyi keras-keras, bertepuk tangan dan tertawa-tawa, dan beberapa dari mereka bahkan berdansa di antara meja-meja.
Aku sebenarnya lebih senang menyantap makan malamku di mana saja selain di tengah keriuhan begini, tapi Pak Tua memaksaku ikut. Kita tamu di sini, Nak, bersikaplah sopan, katanya, dan aku tidak menemukan alasan untuk membantah. Yah, setidaknya ia berhasil mendapatkan sebuah meja terpencil di pojok aula untuk kami berdua, jadi aku tidak perlu makan dengan kepala pening karena semua orang adu teriak di sekitarku.
Dan tidak sepertiku yang sudah gatal ingin segera kabur dari sini, Lyrette tampak baik-baik saja di meja tengah. Sekalipun tidak heboh bernyanyi apalagi menari seperti beberapa gadis serta pemuda semejanya, aku melihatnya sesekali bertepuk tangan dan ikut tertawa. Ditambah rambut emasnya yang tinggal sebahu serta terusan selewat lutut dari Laeticia yang ia kenakan, Lyrette tampak seperti salah satu dari mereka.
“Kalau kau kepingin bergabung juga dengannya, berdiri, Nak. Jalan ke sana, jangan cuma melotot saja.”
Aku menoleh dan Pak Tua menyeringai menyebalkan dari seberang meja. Cambangnya kotor oleh remah roti sementara telunjuknya mengetuk-ngetuk riang gelas anggur di tangannya, mengikuti irama nyanyian orang-orang.
“Aku tidak kepingin,” dengkusku, “Dan aku tidak melotot.”
“Oh ya, aku lupa wajahmu memang selalu begitu,” Pak Tua tertawa, membuatku menarik gelas anggurku lebih dekat untuk menghindari semburan remah dari mulutnya.
“Tapi serius, Nak,” Pak Tua mengambil sepotong roti kering lagi dari mangkuk di tengah meja, “Aku malah senang kalau kau bergabung juga dengannya. Membaurlah, seperti Lyrette.”
Aku hanya menenggak sisa anggurku, tidak menyahut. Lebih mudah membunuh selusin monster daripada menggabungkan diri dengan para penyanyi dadakan di tengah sana.
“Aku tahu kau benci keramaian, Asa, tapi kau juga butuh teman.”
Duh, mulai lagi.
“Sudah ada kau,” aku mengedikkan bahu, “Dan Box.”
“Maksudku yang sebaya,” koreksinya, “Dan manusia.”
“Ada Lyrette,” aku tak mau kalah, dan Pak Tua tertawa kecil.
“Ya, tentu saja, tapi tidak ada salahnya menambah beberapa teman lagi.”
Aku sedang tidak berminat mendengarkan ceramahnya soal seni mencari teman, jadi kubelokkan saja arah pembicaraan kami.
“Omong-omong, apa saja yang sudah kaubaca?”
Pak Tua mengerjap heran dari seberang meja.
“Apa?”
“Lyrette bilang kau meminjam peta ibunya tadi siang.”
“Oh. Ya. Tidak banyak.”
Aku menunggu, tapi tidak ada kelanjutannya. Pak Tua malah menenggak habis anggurnya sendiri, lalu menyodorkan gelasnya yang sudah kosong padaku.
“Ambilkan lagi,” ia menyeringai, “Dan isi ulang punyamu juga.”
Aku mendecakkan lidah. “Isi sendiri. Punyaku masih ada.”
“Oh, ayolah,” ganti Pak Tua yang mendecakkan lidah, “Kenapa kau susah sekali bersikap manis padaku? Padahal kalau Lyrette yang minta—”
Kusambar gelasnya dan protesnya berhenti saat itu juga. Aku tidak berniat minum lebih banyak anggur lagi malam ini—percuma, toh itu tidak bakal membantuku tidur—jadi hanya gelas Pak Tua yang kubawa ke dapur untuk diisi ulang. Aku sempat beradu tatap dengan Lyrette dalam perjalananku menghindari meja-meja ramai menuju dapur, tapi saat aku kembali dengan gelas Pak Tua yang sudah diisi hingga nyaris tumpah, gadis itu tidak terlihat lagi di mejanya. Atau lebih tepatnya, sosoknya tidak kelihatan di mana-mana.
“Dia keluar lewat pintu yang itu,” Pak Tua mengedikkan dagu ke arah salah satu pintu aula sewaktu aku menoleh padanya. Ia memang kadang—sering—begitu. Bahkan sebelum aku bersuara, ia seperti sudah tahu duluan isi kepalaku. Entah karena kemampuan navigasinya yang luar biasa atau aku saja yang terlalu gampang dibaca.
“Tapi habiskan dulu anggurmu,” sambungnya sebelum aku menyahut, “Tidak baik menyisakan hidangan di pernikahan orang. Bawa sial.”
Aku meletakkan gelas Pak Tua di meja, menatapnya dengan alis terangkat sebelah.
“Kupikir kau tidak percaya yang begituan.”
“Memang tidak,” ia menyengir lebar, “Biar aku punya alasan saja untuk menghabiskan anggurmu juga kalau kau tidak melakukannya.”
Aku mendecakkan lidah, lalu menghabiskan bagianku dalam satu tegukan.
“Jangan minum terlalu banyak,” aku mengelap mulut dengan punggung tangan, “Aku tidak mau menggotongmu lagi ke kamar. Kau berat.”
Pak Tua hanya terkekeh dan mulai menyesap isi gelasnya, melambaikan sebelah tangan seolah mengusirku pergi. Aku memang mau pergi, jadi setelah memastikan tidak setetes anggur pun tersisa di gelasku untuk Pak Tua, aku berpamitan padanya. Tidak perlu kujelaskan ke mana dan Pak Tua pun tidak perlu bertanya. Aku tidak berniat mengakui ini di depannya, tapi Rayleigh Edmundfort—setidaknya menurutku—memang tahu segalanya.