To the Heart of the Otherside

Fanny F. C.
Chapter #23

Dua Puluh Dua

Lyrette

Aku melihatnya lagi. Dedalu Besar yang berdiri megah berlatarkan langit mendung, dengan Ibu berdiri di bawah naungannya. Ibu berdiri membelakangiku, memandang jauh ke seberang Sungai, sebelum kemudian menoleh padaku. Ia menatapku dengan senyum sedih pada wajahnya, lalu mengatakan sesuatu. Suaranya tidak terdengar, tapi anehnya aku memahami ucapannya.

Maafkan aku, Lyrette. Maafkan aku—

“Lyrette?”

Aku membuka mata, hanya untuk memejamkannya lagi sesaat kemudian karena silaunya cahaya matahari yang menembus jendela di langit-langit. Butuh beberapa saat sebelum aku sadar di mana aku berada—di dalam kamar yang dipinjamkan Laeticia padaku di koloninya. Di Otherside.

Mengusap kedua mataku yang masih mengantuk, aku pun berguling turun dari tempat tidur gantung yang menjadi tempatku tidur dua malam belakangan. Kamar ini memang begitu mungil tapi efektif—hanya ada sebuah tempat tidur gantung serta lemari kecil di dekatnya, selain sebuah pintu yang terhubung pada semacam kamar mandi. Aku berjalan enggan menghampiri pintu yang lain—pintu masuk kamar ini—dan menemukan sepasang mata singa Asa balas menatapku lekat dari baliknya sewaktu membuka pintu.

“Kupikir kau pingsan,” ia menghela napas, “Waktunya sarapan.”

“Oh,” aku mengerjap, “Sudah pagi?”

Tolol, aku tahu, makanya Asa tersenyum. Ia lalu beringsut dari ambang pintu, memperlihatkan beberapa anak yang berlarian di belakangnya sebagai jawaban.

“Oke,” aku berdeham, “Sebentar, aku—sebentar.”

Asa mengangguk pengertian dan menutup pintu kamarku dengan satu dorongan lembut. Buru-buru aku memelesat ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan setelah memastikan rambut serta pakaianku tidak tampak berantakan, aku menyusul Asa keluar kamar. Pemuda itu, seperti biasa, menungguku sambil menjalin sulur dedaunan yang didapatnya entah dari mana. Ia menoleh sewaktu aku keluar, menatapku lekat selama beberapa saat sebelum menggumam, “Mana busurmu?”

“Kutinggal di dalam. Kenapa?”

“Bawa saja. Lebih aman begitu. Kita tidak tahu kapan monster sialan itu muncul.”

Aku tidak berniat mengawali hari dengan berdebat—apalagi setelah apa yang kami lalui semalam—jadi aku menurut saja. Saat aku keluar lagi dengan busur yang sudah terpanggul di bahu kiri, Asa menyambutku dengan menyodorkan salah satu belatinya padaku. Kurasa salah satu yang paling kecil. Bilahnya hanya sejengkal lebih panjang sedikit.

“Bawa ini juga,” katanya sebelum aku bertanya, “Seandainya monster sialan itu berada terlalu dekat untuk kaupanah, kau bisa menikam matanya sebelum lari.”

Rasanya mengerikan membayangkan berada sedekat itu dengan monster yang dimaksud Asa, tapi aku memahami niat baiknya.

“Terima kasih,” aku mengambil belati dari tangannya, “Tapi kau tidak masalah?”

Asa menelengkan kepalanya. “Maksudmu?”

“Kalau belatimu berkurang satu.”

Asa termangu sejenak sebelum tertawa kecil.

“Masalah kalau tanganku berkurang satu. Ayo.”

Aula makan utama tidak seramai semalam sewaktu kami tiba. Atau lebih tepatnya, tidak ramai sama sekali. Hanya ada seorang kakek duduk sendirian menyantap bubur di sudut ruangan, sementara Lorraine menjadi satu-satunya penunggu di dapur. Wanita itu bilang waktunya makan pagi sudah berlalu hampir satu jam, jadi semua orang sudah sibuk melanjutkan hari masing-masing. Aku jadi menyesal minum satu setengah gelas anggur semalam.

“Biasanya aku tidak bangun sesiang ini,” aku merasa perlu mengatakannya saat duduk bersama Asa di salah satu meja pojok, menghadapi mangkuk bubur kami masing-masing.

“Aku tahu, Lyrette,” Asa tertawa kecil dari seberang meja, “Kenapa? Kau tidak mau bubur?”

Buru-buru aku menggeleng. Bangun kesiangan di tempat ini berarti tidak punya pilihan selain bubur untuk sarapan, tapi aku sama sekali tidak keberatan soal itu.

“Bukan, aku hanya—kenapa kau tidak sarapan duluan?”

Mulai menyantap buburnya, Asa mengedikkan bahu.

“Ray sudah makan duluan. Tidak enak makan sendirian.”

Yang ia sebutkan belakangan itu membuat kedua pipiku menghangat—jadi ia sengaja menungguku supaya bisa makan bersama?—tapi aku memilih fokus pada kalimat pertamanya.

“Ray sudah bangun?”

Asa mengangguk.

Lihat selengkapnya