"Ran, ibu sudah mendahului kita."
Sekilas notifikasi whatsapp Rangga terbaca oleh Rania. Nampaknya Rangga sangat terpukul dengan kepergian ibunya akibat menderita penyakit kanker payudara selama bertahun-tahun. Dia tak bisa lagi bermanja. Apalagi curhat tentang hidupnya yang selalu diliputi masalah. Sindrom kepanikan yang diderita Rangga membuatnya selalu bergantung kepada ibunya. Apa pun tentangnya, ibunya juga harus tahu.
Belum lagi, Rangga ingat pesan ibunya untuk tetap menyambung ke kuliah apoteker setelah S1 farmasinya selesai. Ini membuat Rangga semakin bersedih. Ibunya juga pernah berpesan tentang studinya ke depan seperti apa dan bagaimana. Hanya saja, Rangga selalu plin-plan dalam memutuskan sesuatu. Biasanya, dia akan mengajak Rania berdiskusi, apakah dia akan mengikuti pesan ibunya ataukah langsung bekerja saja. Kali ini berbeda buatnya.
Rania melihat sekilas chat whatsapp itu. Dia memalingkan wajahnya antara ingin membalasnya atau membiarkannya begitu saja. Dengan cepat, Rania menutup kembali layar ponselnya. Kebingungannya membuatnya terasa kejam. Hari libur ini, Rania memang sengaja membebaskan dirinya dari hal-hal yang buruk bahkan untuk sekedar membalas pesan singkat siapa pun. Baik pesan Rangga maupun pesan pria jahat yang sedang berhubungan dengannya.
Ponsel buatan negeri Sakura itu dilemparkan begitu saja ke kasur. Rania meninggal kamarnya menuju dapur. Hari ini dia bebas. Sambil berjalan, Rania mengucir rambutnya, lalu merapikan kaos oblongnya bekas bangun tidur. Sehabis subuh, dia tidak langsung mandi, melainkan tidur lagi.
Bunyi pintu kulkas terbuka mengeluarkan hawa dingin yang sejuk. Rania membungkukkan badannya, melihat ke kiri dan kanan. Sejak kemarin, Rania sudah melengkapi isi kulkasnya dengan makanan kesukaannya, begitu juga dengan bahan-bahan masakan yang akan digunakannya nanti untuk memasak jika dia malas keluar rumah kontrakan.
"Hmmm ... enaknya makan apa, ya?" gumam Rania.