Nafas hangat yang terengah-engah menandakan suatu tingkat kelemahan pada gadis berambut pirang dan bermata biru tersebut. Gaun indah sehari-harinya yang putih entah mengapa pada malam ini memiliki corak merah-merah bercak yang acak, kontras, sedikit menampakkan suatu kesan memikat lain pada gadis tersebut, membuatnya indah terkulai di lantai bagai obyek lukisan mahal pada museum.
Suaranya yang lirih. Tatapannya yang penuh harap. Gerakannya yang mencoba melawan. Degup jantungnya. Kepalan tangannya. Mengekspresikan bahwa ia masih ingin hidup ditengah kegelapan malam yang mencekam tersebut. Di lorong-lorong merah. Dengan lampu-lampu bertengger di dinding emas. Suara burung hantu menggema dari celah jendela yang terbuka. Desiran angin. Hembusan sejuk. Perlahan-lahan menenggelamkannya pada sensasi berada diantara kedua tebing kehidupan dan kematian. Hingga sedetik kemudian bibirnya yang merah menghembuskan nafas terakhir dari paru-parunya. Terkapar tanpa gerak. Bisu bagai patung. Sempurna untuk seorang tokoh 'gadis gaun putih istana yang dikhianati' dalam dongeng orang-orang...
***
Siang yang tenang.
Awan mengambang diantara biru langit. Burung-burung menghilang tanpa jejak, malas terbang di hawa yang panas. Sinar matahari yang menyilaukan menerpa bangunan sekolah menengah atas Fubuki yang berdiri di puncak gunung Aiba, Tokyo, membuat cat kuning keemasannya seolah menjadi putih, mengalami mimikri.
Taman bunga yang disediakan secara misterius bagi para murid di belakang gedung sekolah tampak penuh dengan tebaran kelopak bunga warna-warni yang lepas diterpa angin, menimbulkan harum semerbak. Beberapa bangku cokelat yang tua dimakan usia diletakkan di pinggiran, diduduki murid-murid yang beristirahat makan siang untuk menikmati pemandangan taman yang indah, sekaligus mengobrol lepas.
"Aku melihat hantu! Han-tu! 'Gadis istana yang terkhianati' itu nyata! Ia muncul malam-malam disaat aku melintasi jalan sebelah kediaman merah yang telah lama ditutup!",
Menatapku dengan kedua bola matanya yang membulat besar, sahabat baikku sejak kecil, Kuchou Iwabe berkata lantang-lantang ditengah taman bunga belakang sekolah seolah-olah besok kiamat. Beberapa murid yang melintas memandang sekilas. Entah merasa aneh atau malah jijik. Berpaling seketika, kembali beraktivitas. Meninggalkanku yang tetap duduk termangu di bangku, menikmati bekal makan siang ibu sambil menatap padatnya kota Tokyo yang disiram matahari siang, bermandikan taburan bunga warna-warni taman SMA Fubuki......seraya mendengarkan ocehan tak berguna Kuchou Iwabe.
"Gadis itu mengenakan gaun putihnya yang indah. wajahnya tampak pucat. langkahnya lemah. tapi tatapannya kosong! persis seperti Ame Ganba yang dikhianati oleh ibu dan segenap saudarinya agar tidak memperoleh harta peninggalan raja Gao Ganba, dan melarikan diri dari rumah!", ujarnya keras-keras. melotot padaku.
Aku menyahut.
"Oh ya? apakah gadis bernama Ame Ganba itu memang pernah kau lihat di ribuan tahun silam sehingga ketika kau menemukannya berjalan disebelah kediaman merah yang tertutup pada masa ini bisa kau pastikan bahwa itu memang dirinya?"
Kuchou Iwabe yang agak gemuk berambut hitam itu tampak gusar.
"Tentu saja tidak, dasar bodoh!"
"Lantas darimana kau bisa menyimpulkan bahwa itu memang dirinya? sugesti?"
"Itu karena orang-orang telah menyebutkan sifatnya dan bentuk perawakannya!"