Togashi Uzura: Gadis Gaun Putih Istana yang terkhianati

Abdullah Muhammad
Chapter #3

GADIS GAUN PUTIH ISTANA...

"Aku senang kau mengembalikan pemberian ayahku dua tahun lalu, Togashi-san. betapa kalutnya diriku saat menyadari jepit rambut emas berhargaku hilang sepulang ke rumah...", Berkata demikian sambil membawakan seteko teh panas lengkap dengan cangkir-cangkirnya, Asame Ganbamaru yang--untuk suatu alasan--masih berwajah datar mengucapkan terima kasih sambil menyuguhi kami di ruang tamunya yang luas berkeramik putih. sebuah televisi 15 Kali 9 inci terpajang bisu di depan tanpa dinyalakan. hitam legam. karpet merah segiempat digelar di depan sofa-sofa krem yang kami tempati, nampak dipergunakan untuk bersantai di bawah. tempat menonton untuk anak-anak yang tidak mengerti jarak aman radiasi televisi yang dapat memengaruhi daya penglihatan mereka.

     “Asame-san, maaf. Apakah kau mengenal lelaki di sebelahku ini?”, menerima cangkir teh yang diberikan Asame Ganbamaru, aku bertanya sambil menunjuk Kuchou Iwabe kawanku, yang kemudian langsung dibalas dengan kepala yang dimiringkan, bingung.

         “…….hm…..biar kupikir…….”, ia bergumam, lalu berkata.

         “…..Tidak. aku tidak mengenalnya”,

         Detik itu juga Iwabe bangkit, menudingku seolah terdakwa di pengadilan.

         “Nah, sekarang kau percaya?! Kami tidak pernah bertemu! Wajahnya saja tidak mirip!”

         “iya, iya. Aku paham.”, Mengangguk cukup terpaksa mengakui kebenaran lawan, aku mengedarkan pandangan ke sudut-sudut ruangan yang tampak mewah.

         Cukup sepi. Tidak, aku bahkan berani bertaruh di rumah ini hanya ada kami bertiga. Yang keempat dan kelima mungkin hanya pembantu yang datang di siang hari untuk bersih-bersih, membantu ini-itu, lantas pulang. hal itu dapat dilihat dari bersihnya setiap inci keramik yang kami lewati dimana seorang gadis remaja seperti Asame Ganbamaru tidak mungkin membersihkannya sendirian setiap hari atau telapak tangannya rusak-rusak. Lecet. dimana dalam kenyataan yang ada, saat ia menyerahkan cangkir gelas berisi teh panas kepadaku…………….telapak tangannya demikian halus. Bagai telapak tangan gadis-gadis kerajaan yang sama sekali dilarang keluarganya melakukan pekerjaan berat untuk menjaga kecantikannya di mata bangsawan-bangsawan.

“Ngomong-ngomong, Asame-san. Apa yang kau lakukan malam-malam di minimarket kota Tokyo tempat kita tidak sengaja bertemu? Maksudku, tempat tinggalmu ini di Kyoto, bukan? Kurasa kau tidak mungkin pergi jauh-jauh keluar kota hanya untuk mencari kebutuhan pokok sehari-hari…..”, Selesai menyeruput sekali dua kali teh panas yang ketara teknik amatir pembuatannya, aku bertanya santai pada Asame Ganbamaru yang ikut duduk di sofa sebelah Kuchou Iwabe, berjarak tiga tempat duduk dariku yang sudah mengganti gaun putih indahnya dengan kaos merah biasa dengan rok panjang putih selutut.

Yang terjadi hanya suasana ganjil. Tanpa menoleh kepadaku—lebih tepatnya, cuek—Asame Ganbamaru menatap warna merah terang karpet di depan, diam sejenak. Menciptakan sebuah tanda Tanya besar pada Kuchou Iwabe sehingga mendadak mengalami keringat dingin, melirik padaku. Memberi isyarat bahwa suatu aura aneh sedang dirasakannya.

Untuk itu, aku menelan ludah. Hingga kemudian kembali memberanikan diri bertanya,

“…A—Asame-san?”,

“Kau tidak perlu tahu”, Gadis yang mendadak bertingkah aneh tersebut menyahut cepat. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Dengan tatapannya yang aneh namun mengerikan gadis itu berkata pada kami.

“karena aku sudah berterimakasih pada kalian atas kembalinya barangku ini…….bisakah kalian segera kembali? kalian tidak ada urusan tambahan lagi, bukan? Atau jangan-jangan………..kalian ingin imbalan yang lebih besar dariku?”,

Mengernyitkan dahi, aku mengepalkan tangan yang ada di lutut, membatin.

Sudah kuduga gadis ini tadi tidak benar-benar mengucapkan ‘terima kasih’….

Mendapatkan usiran cara halus yang demikian, Kuchou Iwabe yang dari sononya mudah tersinggung, emosional, penakut segera menarik kain bajuku, berbisik,

“Togashi-kun…ayo kita cepat keluar dari sini…! Sepertinya gadis ini tidak menyukai keberadaan kita….!”,

Aku pun membalas,

“Kau salah, Iwabe. Dia awalnya tidak merasa bahwa ini bermasalah. Dia hanya agak sensitif ketika aku menanyai suatu tindakannya yang tidak lazim. Jangan disikapi berlebihan”,

Lantas segera pamit, undur diri kembali ke Tokyo. menuju luar tembok tebal rumah mewah Asame Ganbamaru. Berjalan keluar Kompleks perumahan dekat stasiun yang harga tanahnya mahal—sebab wilayah strategis, naik kereta ke stasiun asal kami berangkat, menuju rumah Kuchou Iwabe yang biasa-biasa.

Langit tampak masih cerah. Menandakan sekitar jam Sembilan atau sepuluh. Karena hari libur, beberapa orang berusia pelajar tampak berjalan-jalan di sekitar pusat kota bersama keluarga atau temannya, beristirahat sejenak melepas penat sehabis belajar. Apalagi Tokyo merupakan kota yang ramai sekali. Kami yang hanya dua orang biasa ini akhirnya melebur, hanyut bersama ratusan orang lain yang sama-sama berada di jalan besar. Tidak terlihat.

“Haaahh……seorang gadis itu selalu merepotkan, ya. Togashi-kun?”, menghela nafas berat panjang, Kuchou Iwabe berkata. Memandang langit-langit. Rumahnya tinggal sekitar sepuluh meter lagi. Kebetulan rumahku sendiri searah dengan jalan ini. Jadi mengantarkan kawanku pulang ke rumahnya tak akan bermasalah.

Aku menyahut.

Lihat selengkapnya