Jalan Proklamasi, 1998
Pekat malam bercampur udara dingin perlahan menyelimuti setiap sudut kota. Aroma kesunyian menguar sepanjang Jalan Proklamasi.
Di malam-malam biasanya, sepanjang Jalan Proklamasi begitu riuh dan sibuk. Namun, malam ini adalah malam yang berbeda.
Bangunan-bangunan yang berjejer sepanjang jalan yang biasanya bermandikan cahaya lampu dengan aneka warna, kini menyisakan gelap dan remang-remang muram. Satu-satunya sumber penerangan Jalan Proklamasi dari gulita malam hanyalah lampu-lampu kota yang jumlahnya bisa dihitung jari. Itu pun sudah redup. Saking tua dan lama tidak diganti.
Tepat di ujung barat Jalan Proklamasi, sebuah ruko berukuran cukup besar menyumbangkan cahaya lampu depannya untuk menerangi jalan. Mungkin itu satu-satunya bangunan yang nampak bernyawa. Tepat di bawah terangnya lampu, terpasang sebuah papan kayu bertuliskan “Toko Bunga Arumdhipuran”. Ada tulisan kecil di bawahnya “Sejak Tahun 1932”.
Dari luar, Toko Bunga Arumdhipuran memang nampak sepi, seperti bangunan lain sepanjang Jalan Proklamasi. Namun, kalau masuk ke dalam toko bakal terdengar suara riuh percakapan. Bukan pemilik toko ataupun karyawan. Melainkan para bunga. Mereka sedang asyik mengobrol satu sama lain.
Tidak seperti obrolan malam sebelumnya yang penuh lontaran canda tawa dan kegembiraan. Malam ini, raut mahkota dan kelopak para bunga berbalut tegang, sedih, takut, dan cemas.
Para bunga berbicara sambil berbisik lirih; ada pula yang menahan tangis; sebagian malah mematung bisu. Malam ini mereka tidak bisa tidur lantaran sebuah peristiwa yang terjadi sepanjang hari ini.
Sedari sore, Bunga Lili menangis sesenggukan. Air matanya tumpah berjatuhan. Raut kesedihan terpancar jelas di mahkotanya. Bunga Krisan yang berada di samping Bunga Lili juga merasakan sebuah kedukaan teramat menyakitkan. Namun, Bunga Krisan jarang menghamburkan air matanya.
“Lili. Sudah, dong. Apa kamu gak capek nangis terus?” ujar Bunga Krisan dengan nada suara sedikit sebal. Ia memang tidak bisa berbohong kalau tangisan Bunga Lili membuatnya jengah. “Tidurlah. Ini sudah larut malam. Coba lihat mahkotamu itu. Sudah layu. Kamu butuh istirahat.” Bunga Krisan berusaha membujuk meski ia tahu itu sia-sia.
Bunga Lili melirik Bunga Krisan dengan sorot mata berbalut sedih. “Bagaimana bisa aku tidur, sedangkan di pikiranku masih terus membayangkan kematian teman-teman kita.” Suara Bunga Lili terdengar berat meskipun lirih.
“Hei. Aku juga gak bisa tidur,” sahut Bunga Mawar yang berada di belakang Bunga Krisan. “Kasihan sekali mereka harus bernasib seperti itu. Sungguh tidak terbayangkan sama sekali.” Raut resah Bunga Mawar masih belum hilang sejak peristiwa mengerikan terjadi tadi siang yang menimpa Toko Bunga Lentera. Toko bunga itu berjarak 300 Meter dari Toko Bunga Arumdhipuran.
Bunga Krisan malah bertambah jengkel kalau Bunga Mawar sudah ikut nimbrung. Bakalan gak bisa tidur sampai pagi.
“Mengapa manusia-manusia itu tega membakar dan merusak Toko Bunga Lentera tanpa sebab? Apa salah toko bunga itu? Sungguh kejam.” Kali ini Bunga Lili memuntahkan kemarahannya. Suaranya bergetar hebat. Para bunga yang ada di dalam Toko Bunga Arumdhipuran sampai merasakan hembusan marahnya.
“Mereka benar-benar manusia biadab!” Bunga Mawar ikut tersulut amarahnya. Sorot matanya berkobar-kobar semerah warna kelopaknya. “Baru pertama kali ini aku melihat jenis manusia tega melakukan perbuatan sekeji itu.”
“Ya. Mereka tidak hanya melakukan kekejaman sesama manusia. Tapi juga pada teman-teman kita yang ada di Toko Bunga Lentera,” imbuh Bunga Lili. Nafasnya mendengus berat. “Apa sih salahnya bunga-bunga di mata mereka? Mengapa para manusia itu melampiaskan kemarahan dan kebencian pada para bunga yang tak berbuat apa-apa? Tak juga ikut campur urusan manusia?”
Bunga Krisan menghela nafas dalam-dalam mendengar berbagai lontaran kemarahan yang silih berganti keluar dari mulut Bunga Lili dan Bunga Mawar.
“Krisan,” seru Bunga Mawar.
“Ada apa, Mawar?” Bunga Krisan menjawab dengan sedikit malas.
“Aku lihat kamu nampak biasa-biasa saja. Apa kamu tidak merasa kasihan melihat saudara-saudara kita mati terbakar?” ungkap Bunga Mawar. Seketika Bunga Lili ikut melirik ke arah Bunga Krisan. Wajah sedih Bunga Lili berubah jadi heran dan penasaran menanti jawaban Bunga Krisan.
Telinga Bunga Krisan sampai gatel mendengar pertanyaan itu. Bunga Krisan terpaksa menjawab sambil menahan kesal yang menyesaki perasaannya. Dasar pertanyaan gak masuk akal, keluh Bunga Krisan dalam hati.
“Asal kalian berdua tahu. Aku tidak menangis bukan berarti aku tidak ikut sedih menyaksikan teman-teman kita di Toko Bunga Lentera dibantai dengan keji,” ungkap Bunga Krisan dengan nada datar dan pelan.
Dari semua bunga yang ada di Toko Bunga Arumdhipuran, justru Bunga Kirsan yang sebenarnya merasakan kesedihan yang mendalam. Namun para bunga tidak ada yang tahu.
Pertama, Bunga Krisan mempunyai teman dekat di Toko Bunga Lentera yang menjadi korban pembantaian. Kedua, Bunga Krisan punya firasat bakalan ada kerusuhan sejak tiga hari lalu.
Kejadian mengerikan tadi siang tidak mungkin terlupakan oleh para bunga. Bakal tertanam kuat dalam ingatan mereka sampai mati.
Mundur ke tiga hari yang lalu. Awal kerusuhan tidak terjadi di Jalan Proklamasi melainkan di sepanjang Jalan Merdeka. Namun merembet ke Jalan Proklamasi. Sudah tiga hari berturut-turut ada bentrokan antara masa dari berbagai kalangan dengan pihak aparat keamanan, tetapi belum ada aksi penjarahan dan pembakaran.
Siang tadi suasana terasa berbeda. Ketika masa yang bergerak mundur dan terpencar ke Jalan Proklamasi malah melakukan pengrusakan dan penjarahan. Ruko yang dijarah pertama kali adalah toko elektronik yang ada di timur Jalan Proklamasi. Letaknya memang berbatasan langsung dengan Jalan Merdeka.
Aksi penjarahan, pengrusakan, dan pembakaran lantas merambat ke toko kelontong, rumah makan, mini marker, dan akhirnya Toko Bunga Lentera tak luput dari terjangan penjarahan.
Aksi penjarahan baru bisa dibubarkan saat pihak keamanan memukul mundur sampai ke barat Jalan Proklamasi. Sampai tidak terlihat lagi hingga malam ini.
Para bunga melihat dengan jelas para penjarah itu lari tunggang langgang sambil membawa barang jarahan.
Para bunga mendengar dengan jelas suara teriakan, jeritan, tangisan, hentakan kaki, letusan peluru, kaca pecah, dan berbagai raungan kendaraan.
Bunga Lili dan Bunga Krisan sempat melihat seorang penjarah kesusahan menggotong sebuah papan bertuliskan “Toko Bunga Lentera”. Mereka berdua sampai terhenyak kaget menyaksikan itu. “Untuk apa mereka membawa papan toko itu?” Seru Bunga Lili penuh keheranan yang tak terbayangkan. Memang kalau dilihat, papan nama Toko Bunga Lentera sangat unik lantaran ada ukirannya. Bunga Krisan berfikir mungkin dua orang penjarah itu mengira papan nama itu punya nilai jual yang mahal.
Belum selesai para bunga dibuat ngeri menyaksikan aksi penjarahan, mereka dibuat kaget oleh bau asap kebakaran yang semakin lama menyelimuti setiap sudut Jalan Proklamasi. Mereka sampai hampir mati tercekik lantaran di dalam toko disesaki asap. Hingga malam ini pun sisa-sisa asap kebakaran masih menempel di dinding toko. Bergumpal-gumpal bagaikan awan kelabu.
Melalui siaran berita sore dari televisi yang terpasang di pojok atas toko, para bunga akhirnya tahu rangkaian peristiwa kerusuhan dan penjarahan yang terjadi sepanjang Jalan Proklamasi. Mereka menyaksikan kerusakan parah yang terjadi, salah satunya Toko Bunga Lentera. Nampak jelas di layar televisi seluruh bunga di toko itu hancur, terinjak-injak, diobrak-abrik tak karuan. Banyak bunga yang dibuang di jalanan. Berserakan tak karuan. Wujud indah bunga-bunga sudah tak berbentuk.
“Aku tak kuat melihat teman-teman kita dibantai seperti itu,” jerit Bunga Lili. Kelopaknya mengerut saking marahnya.
Pemandangan mengerikan itu membuat sakit dan kelu batin para bunga di Toko Bunga Arumdhipuran. Mereka berlomba-lomba memuntahkan kemarahan, berteriak histeris, menangis, dan meneteskan air mata kepedihan.
Bunga Krisan menghela nafas dalam-dalam. Ia kembali melirik Bunga Lili di sampingnya, namun malas menoleh ke Bunga Mawar di belakangnya.
“Apa aku harus meraung-raung untuk memperlihatkan kesedihanku pada kalian? Iya?” Bunga Krisan nampak kesal, namun ia bisa menutupinya. Ia tidak mau berdebat dengan bunga lain di saat seperti ini. “Setiap bunga mengekspresikan kesedihannya sendiri-sendiri.”