Toko Bunga Arumdhipuran

tuhu
Chapter #2

Bunga Melati

Gerimis tipis bertaburan di langit pagi. Melengaskan hitamnya aspal sepanjang Jalan Proklamasi. Hembusan angin semakin menambah dinginnya pagi ini. Para bunga yang meringkuk di dalam Toko Bunga Arumdhipuran merasakan sengatan dingin. Sejak pukul empat subuh, tubuh mereka menggigil ngilu. Bahkan saat Susi dan Indri sudah membuka toko pukul delapan pagi ini pun, para bunga masih menyesap sisa dingin.

“Sepertinya gerimis ini bakal bertahan seharian,” ujar Bunga Melati, sambil menatap rintik air dari jendela toko. Suaranya sedikit serak.

“Ya. Sepertinya begitu,” sahut Bunga Dahlia. “Gerimisnya malah makin deras saja. Mungkin bakal hujan lebat.”

Bunga Melati menjadi sedikit muram. “Yang kutakutkan hawa dingin ini. Aku tidak kuat.” Suaranya bergetar menahan ngilunya udara dingin. Tubuhnya memang tidak sanggup menghadapi serbuan dingin. Kelopak, mahkota, dan tangkainya sampai mengkeret.

Sebenarnya tidak hanya Bunga Melati yang dicucuk dinginnya udara pagi. Bunga lain pun merasakan hal serupa. Bahkan Susi dan Indri sampai tak melepas jaket mereka saking tak kuat menahan dingin. Mereka berdua melakukan pekerjaan sambil menyesap butiran udara dingin.

“Mungkin sudah memasuki musim penghujan,” ungkap Bunga Krisan. Ia memandangi lalu-lalang orang berjalan cepat di trotoar depan toko sambil membawa payung. Ada seorang laki-laki tua beruban yang bajunya sampai basah kuyup diguyur lebatnya gerimis. Ia tak membawa payung ataupun mantel. Ia menghalau terpaan gerimis dengan kardus karton yang sudah koyak.

“Tak terasa, musim sudah berganti. Cepat sekali waktu ini berlalu.” Bunga Melati membalas dengan lirih. Bunga Krisan dan Bunga Dahlia mengangguk pelan. Raut mereka bertiga nampak sendu.

Saat para bunga sedang menatap berbagai keriuhan manusia sepanjang Jalan Proklamasi sementara itu Susi dan Indri masih merapikan pot bunga, mereka dikagetkan oleh kedatangan seorang perempuan setengah baya yang masuk ke toko dengan nafas terengah-engah seperti dikejar beruang.

“Bu Widia,” seru Indri. Ia nampak heran mendapati pemilik Toko Bunga Arumdhipuran itu datang membawa wajah resah dan bingung. Biasanya Widia Ayu selalu menyapa Susi dan Indri dengan senyum.

Widia Ayu langsung duduk di kursi dekat meja kasir. Tubuhnya lemas lunglai. Rambut hitamnya yang dipotong sebahu seperti belum disisir. Nampak acak-acakan. Sungguh sangat tidak biasa bagi seorang perempuan seperti dia yang sangat mempedulikan penampilan.

Susi dan Indri bergegas menghampiri Widia Ayu. Mereka berdua merasa ada hal aneh yang menimpanya.

“Bu Widia kenapa? Ada sesuatu di jalan?” tanya Susi ikutan cemas. Widia Ayu menggeleng cepat.

“Tidak, Sus.” Suara Widia Ayu terdengar serak. Indri pun pergi ke dapur untuk mengambil minum. Segelas air putih penuh ia sajikan pada Widia Ayu. Dengan gegas Widia Ayu meneguknya. Tanpa sisa. Ia seperti orang menderita kehausan di tengah gurun pasir.

Sedari tadi para bunga hanya melongo tak berkedip menatap Widia Ayu. Mereka belum ada yang berkomentar sedikit pun. Lantaran mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Widia Ayu.

“Apa mungkin Widia Ayu dikejar-kejar sama gerombolan perusuh di jalan?” bisik Bunga Dahlia dengan suara sedikit dipelankan. Ia sangat hati-hati mengucapkan kalimat itu. Bunga Melati yang ada di sampingnya terhenyak kaget. Ia melirik ke arah Bunga Dahlia.

“Aku juga berfikir sama,” balas Bunga Melati. Suaranya tidak kalah lirih. “Apalagi kondisi di jalanan kota masih belum aman sama sekali. Tadi pagi saja, kita dengar berita dari radio, kalau tadi malam ada bentrok antara mahasiswa dan aparat di Jalan Soedirman.”

“Sungguh mengerikan sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau Widia Ayu sampai berada di situasi seperti itu,” ungkap Bunga Dahlia. Rautnya nampak tegang.

Air putih yang baru saja Widia Ayu teguk cukup ampuh meluruhkan gurat resah di wajahnya. Perlahan nafasnya mulai terkendali. Ia pun melirik Susi dan Indri yang masih kebingungan.

“Aku tidak apa-apa. Kalian berdua jangan cemas.” Suara Widia Ayu terdengar normal. Susi dan Indri menghela nafas lega. Namun sorot mata Widia Ayu belum hilang ketakutannya. “Aku justru mengkhawatirkan anakku.” Suara Widia Ayu mengalun lirih dan berat.

Seketika Susi dan Indri terhenyak kaget mendengar itu. Mereka berdua kembali menatap Widia Ayu dengan tumpukan resah. 

“Apa yang terjadi dengan Linanthi, Buk?” seru Indri.

“Dia baik-baik saja, kan?” Susi menyela dengan nada gusar.

Widia Ayu terdiam sejenak. Ia menghela nafas panjang, mencoba untuk menenangkan perasaannya yang berkecamuk tak karuan. Namun tetap saja sia-sia. Raut wajahnya memburam layu seperti gumpalan mendung pagi ini.

“Waduh! Ada apa dengan Linanthi?” Bunga Melati tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Begitu pun bunga lain. Seketika mereka menjadi gaduh.

“Padahal, tadi sudah agak tenang waktu Widia Ayu bilang tidak terjadi apa-apa dengan dia. Ternyata masalah itu malah menimpa Linanthi,” ujar Bunga Dahlia. Raut para bunga pun menjadi muram. Mereka sangat menyukai anak perempuan semata wayang Widia Ayu itu. Sejak kecil, Linanthi yang menyandang nama panjang Linanthi Pandanwangi, selalu membantu ibunya merawat para bunga. Dulu, sebelum Susi dan Indri bekerja, Linanthi lah yang mengurus semua bunga. Bisa dibilang ia besar dan tumbuh bersama bunga-bunga di toko ini. 

Lihat selengkapnya