Bunga Anyelir paling takut saat hari berganti malam. Ia tidak menyukai wujud kegelapan. Perasaannya selalu diselimuti kecemasan ketika sinar matahari memudar di ufuk barat. Namun saat semburat senja pagi menyembul dari timur, Bunga Anyelir bersorak kegirangan. Menjadi semangat dan ceria kembali. Seperti bangkit dari kematian. Akan dihantui takut dan gelisah tat kala hari menyambut malam. Hal itu akan terus berulang setiap harinya, sepanjang hidup.
Siklus perubahan perasaan itu sudah Bunga Anyelir alami sejak terlahir di dunia. Dan itu hanya dirasakan oleh Bunga Anyelir. Anehnya, tidak berlaku untuk bunga lain. Ia pernah coba bertanya perihal perasan aneh itu pada Bunga Mawar, Bunga Kamboja, dan Bunga Dahlia. Mereka bertiga serempak menjawab tidak mengalami.
Yang dilakukan Bunga Anyelir untuk meredam takut dan resah ketika malam menjelang ialah dengan mengajak ngobrol bunga lain. Apa pun topiknya. Sampai larut malam dan tertidur. Ada beberapa bunga yang mau dan senang diajak begadang sampai malam. Namun banyak pula yang tidak sudi membuang-buang waktu tidur mereka.
Urusan begadang, biasanya Bunga Anyelir mengajak Bunga Mawar. Seperti yang ia lakukan malam ini.
Di dalam gelapnya ruangan toko dan hanya seberkas cahaya dari lampu jalan yang masuk lewat celah-celah jendela, Bunga Anyelir dan Bunga Mawar sedang membicarakan perkembangan Linanthi Pandanwangi yang belum ketemu.
“Aku dengar, tadi siang Widia Ayu sama Indri pergi ke kantor polisi. Melaporkan kehilangan anaknya,” ujar Bunga Anyelir.
“Halah. Itu percuma. Buang-buang tenaga saja,” balas Bunga Mawar sembari tertawa terkekeh. Bunga Anyelir menghela nafas panjang. Ia teringat raut wajah Widia Ayu tadi siang yang layu berbalut kebingungan dan frustrasi. Seperti tidak ada cahaya harapan.
“Lha terus? Mau cara apa lagi buat mencari Linanthi?” Bunga Anyelir merasa gusar. Ia malah ikutan resah. Bunga Mawar melirik Bunga Anyelir dengan raut santai.
“Kamu masih ingat, gak? Sore tadi itu ada dua mahasiswa beli bunga di sini.”
Bunga Anyelir menggeleng pelan. “Aku tidak ingat. Tadi sore lumayan ramai pembeli. Jadi aku tidak tahu dua mahasiswa yang kamu maksud.” Bunga Anyelir nampak penasaran. “Memangnya ada apa dengan mereka?”
“Aku sempat dengar pembicaraan mereka berdua. Kalau…”
“Dengar apa memangnya?” sela Bung Anyelir. Membuat Bunga Mawar jadi geram lantaran omongannya dipotong.
“Biarin aku selesai ngomong dulu.”
“Maaf. Maaf,” ucap Bunga Anyelir sambil nyengir. Bunga Mawar lantas menceritakan kalau dua mahasiswa itu sedang mengobrolkan penanganan kasus hilangnya mahasiswa. Mereka berdua menjadi relawan Lembaga Bantuan Hukum. Mereka sempat mengatakan kalau laporan mahasiswa yang hilang semakin bertambah. Namun kabar baiknya, banyak mahasiswa sudah ditemukan. Hal itu berkat usaha tak kenal menyerah dari pengurus dan relawan Lembaga Bantuan Hukum.
“Nah. Kalau benar lembaga itu bisa mencari mahasiswa yang hilang. Mungkin Linanthi juga bisa ditemukan,” ujar Bunga Mawar. Begitu berapi-api sampai Bunga Anyelir terhenyak mendengarnya. Ada senyum kecil tercipta. Seperti menemukan sebuah harapan. “Tapi.” Bunga Mawar menjeda ucapannya.
“Tapi apa?”
“Widia Ayu sudah tahu lembaga itu belum? Atau mungkin dia sudah pernah ke sana. Melaporkan anaknya namun belum juga ketemu.”
Bunga Anyelir termenung sejenak. Ia nampak berfikir keras. “Sepertinya belum. Aku belum pernah mendengar mereka bertiga membicarakan tentang lembaga itu. Aku yakin itu.”
“Seandainya kita bisa berbicara dengan mereka. Sudah pasti akan aku sampaikan hal itu.” Ucapan Bunga Mawar membuat Bunga Anyelir tertawa terkekeh.
“Ada-ada saja kamu ini. Tapi kalau itu sampai terjadi, malah mereka ketakutan. Bisa jadi kita dianggap hantu atau monster berwujud bunga.”
“Dan kita bakal dimusnahkan dari muka bumi ini,” balas Bunga Mawar. Serentak, mereka berdua terbahak-bahak. Suara tawa mereka menyengat Bunga Lantana yang mau tidur.
“Woi. Kalian berdua. Berisik sekali,” seru Bunga Lantana dengan raut memberengut kesal. “Sudah jam berapa ini, ha? Waktunya tidur.” Usai mengatakan itu, ia langsung mendengkur. Bunga Mawar dan Bunga Anyelir hanya menatap sekilas ke arah Bunga Lantana. Mereka tidak mempedulikan sama sekali lantaran sudah kerap dimarahi oleh si bunga tukang tidur itu.
“Padahal ini baru jam tujuh malam.” Bunga Anyelir menggeleng heran.
“Biarkan saja. Dah kebiasaan dia,” ucap Bunga Mawar dengan malas.
“Ya. Lebih baik kita ngomongin berita di koran yang dibaca Indri tadi pagi saja.”
“Emang berita apa? Aku gak tau.”
“Tiga mahasiswa yang mati ditembak tentara,” ujar Bunga Anyelir. Suaranya bergetar lirih. Mahkotanya berubah menjadi tegang. Bunga Mawar terhenyak.
“Hiii. Ngeri sekali. Aku jadi takut mau bicara.”
“Nah, syukurlah kita adalah bunga. Jadi bebas mau ngomongin apa saja. Termasuk urusan politik sampai berita paling berbahaya sekali pun. Bayangkan kalau jadi mahasiswa yang ditangkap dan diculik hanya karena berdiskusi masalah itu. seperti yang dialami Linanthi. Serem, gak?”
Bunga Mawar tercengang. Seperti tak percaya apa yang barusan Bunga Anyelir katakan. Bunga Mawar mengangguk-angguk keheranan. “Benar juga katamu, Anyelir. Rupanya tidak mudah jadi manusia bebas di negara ini. Berbicara saja bisa mendatangkan malapetaka. Sungguh beruntung kita jadi bunga.”
“Andaikan Tuhan mengabulkan permintaanmu. Menjadikan kita bisa bicara. Aku yakin bunga-bunga di negeri ini sudah punah. Dimusnahkan dan diinjak-injak oleh sepatu lars tentara.”