Bunga Tulip menajamkan matanya pada seorang laki-laki muda memakai topi hitam yang sedari pagi berjalan mondar-mandir melewati depan toko. Sesekali laki-laki itu berhenti sambil mengamati keadaan di dalam toko. Bunga Tulip mencurigai laki-laki muda itu. Perasaannya dipenuhi kewaspadaan dan sedikit resah. Prasangka buruk berkelebat di pikirannya.
“Kalian tahu siapa laki-laki itu?” tanya Bunga Tulip pada Bunga Iris dan Bunga Kamboja. Mereka berdua serentak menoleh ke jendela. Melihat laki-laki yang berdiri di dekat tiang lampu dan menatap ke arah toko. Raut wajah laki-laki itu nampak gelisah.
“Aku tidak tahu,” balas Bunga Kamboja sembari menggeleng.
“Memangnya kenapa dengan laki-laki itu?” ujar Bunga Iris dengan rasa ingin tahu.
“Mencurigakan sekali dia.” Raut Bunga Tulip berubah serius. Bunga Iris dan Bunga Kamboja sedikit terhenyak.
“Mencurigakan? Apanya yang mencurigakan dengan laki-laki itu?” Bunga Iris sampai tak berkedip menatap lagi laki-laki yang dicurigai Bunga Tulip. Bunga Kamboja yang sedari tadi tidak tertarik pun jadi terpengaruh ucapan Bunga Tulip.
“Coba kalian lihat baik-baik,” pinta Bunga Tulip. “Sudah hampir dua jam lebih, sejak toko belum buka laki-laki itu mondar-mandir. Aku curiga dia mau menjarah toko ini. Apalagi tadi malam pecah kerusuhan di Jalan Diponegoro.”
“Hei. Jangan ngawur kamu, Tulip,” seru Bunga Kamboja. Ia agak geram dengan tuduhan Bunga Tulip. Bunga Iris malah jadi gelisah. “Mana ada laki-laki yang tampangnya saja masih seperti bocah SMA berani melakukan penjarahan.”
“Aneh juga kalau laki-laki itu mau menjarah tapi mengincar toko bunga. Sendirian lagi,” ungkap Bunga Iris. Ia mencoba meredakan kegelisahannya sendiri. Bunga Kamboja setuju dengan argumen Bunga Iris.
“Terus. Ngapain dia berjam-jam mondar-mandir sambil menatap toko?”
“Mau beli bunga tapi tidak punya uang,” balas Bunga Kamboja. Memberi penjelasan sederhana. Bunga Tulip tidak puas dengan jawaban Bunga Kamboja. Ia masih menaruh kecurigaan berlebih pada laki-laki bertopi hitam itu.
Di tengah mengawasi laki-laki misterius itu, Bunga Tulip melihat seorang perempuan paruh baya berjaket coklat turun dari angkot tepat di depan Toko Bunga Arumdhipuran. Pandangan Bunga Tulip lantas tertuju pada perempuan paruh baya yang berjalan menuju pintu toko. Raut wajah perempuan seumuran Widia Ayu itu memancarkan resah yang sangat dalam.
“Hei, Kamboja. Kamu kenal perempuan itu? Duh. Aku lupa namanya.”
“Oh. Itu kan Fatma. Ibunya Risanti.”
“Risanti itu teman akrabnya Linanthi, kan?”
“Ya, iya lah. Masak kamu lupa sama Risanti.” Bunga Kamboja nampak heran.
“Aku tidak bisa membedakan antara Risanti dan Indri. Mereka berdua hampir mirip wajahnya.” Begitu penjelasan Bunga Tulip. Meskipun Bunga Tulip kerap melihat Risanti berkunjung ke toko namun sampai sekarang ia masih sulit mengenali teman Linanthi sejak SD itu.
“Tetap saja beda. Hanya tinggi sama potongan rambutnya saja yang sama,” ungkap Bunga Kamboja. Bunga Iris yang belum tahu detail tentang Fatma dan Risanti mendengarkan dengan serius pembicaraan Bunga Tulip dan Bunga Kamboja.
“Tumben sekali Fatma datang ke sini pagi-pagi. Mau beli bunga apa dia?” Bunga Tulip nampak keheranan. Fatma memang jarang datang sendirian. Dia selalu bersama Risanti kalau ke toko. Biasanya tidak membeli bunga, hanya mengobrol dengan Widia Ayu saja.
“Entahlah. Sepertinya kedatangannya kali ini tidak seperti biasanya.” Bunga Kamboja sedikit gelisah melihat raut wajah Fatma.
Begitu Fatma membuka pintu toko, Susi langsung menyambutnya. Pagi ini ia memang menjaga toko sendiri. Widia Ayu dan Indri masih berkeliling kota mencari informasi keberadaan Linanthi yang tak kunjung mendapat titik terang.
“Buk Fatma,” sapa Susi sembari tersenyum. Fatma mengangguk ragu. Raut wajah Fatma yang cemas membuat Susi mengerutkan dahi.
“Widia sudah datang, Sus?” tanya Fatma. Pandangan matanya mengitari seluruh toko. Susi lantas mengatakan kalau Widia Ayu dan Indri sedang keluar. Kemungkinan baru siang hari kembalinya. Ia juga mengatakan mereka berdua masih mencari Linanthi. Hari ini mereka berdua pergi ke kantor Lembaga Bantuan Hukum. Widia Ayu memutuskan untuk ke sana lantaran saat melihat berita di televisi swasta, ada wawancara dengan ketua Lembaga Bantuan Hukum yang sedang mengurus hilangnya orang selama bentrok dan kerusuhan terjadi.
“Ada yang bisa saya bantu, Buk? Atau ada pesan mau disampaikan untuk Buk Widia?”
Fatma menatap Susi. Sorot mata gelisahnya membulat. “Risanti dari kemarin belum pulang.” Susi terhenyak kaget mendengar itu. Tubuhnya jadi lemas.
“Be… Belum pulang?” tanya Susi dengan ucapan tergagap. Fatma mengangguk lemah. Tangan kanaknya mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi kanannya. Wajahnya pun menjadi pucat seperti tak makan sedari kemarin. Dengan gegas Susi mempersilahkan Fatma untuk duduk di kursi.
Para bunga menjadi riuh ramai. Mereka berspekulasi kalau Risanti bernasib sama dengan Linanthi. Hilang diculik.
“Risanti itu juga aktifis. Sama kaya Linanthi,” ujar Bunga Tulip.
“Ya. Aku setuju. Setahuku, meskipun mereka berbeda jurusan kuliah namun ikut organisasi kampus yang sama.” Bunga Krisan menambahi.
“Ya ampun. Kasihan sekali. Mengapa banyak mahasiswa yang diculik. Apa mereka begitu bahaya bagi penguasa di negeri ini?” ungkap Bunga Iris.
“Aku pernah mendengar percakapan Risanti dan Linanthi. Kalau penguasa otoriter itu sangat takut sama suara anak muda yang melontarkan kata reformasi.” Bunga Kamboja menimpali. Semua bunga menjadi tegang. Mereka tak menyangka kalau satu kata itu tidak boleh sembarangan diucapkan oleh manusia di situasi seperti ini.
Susi mencoba menenangkan Fatma. Meskipun perasaannya sendiri makin tak karuan lantaran teringat Linanthi yang tak kunjung ketemu.
Saat cukup tenang, Fatma lantas menceritakan kalau kemarin pagi Risanti pergi ke kampus seperti biasa. Sebenarnya Fatma sudah mewanti-wanti supaya berhati-hati lantaran di sekitar kampus masih sering terjadi bentrokan mahasiswa dengan aparat keamanan. Fatma menyarankan Risanti untuk tidak masuk kuliah. Namun Risanti bersikeras masuk.
“Dan sampai pagi ini dia belum pulang. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia. Apalagi tadi malam ada kerusuhan lagi di sekitar kampus.” Fatma mengakhiri ceritanya dengan mengelap air mata yang membasahi pipinya. Susi menghela nafas dalam-dalam. Ia lantas bertanya apakah sudah menanyakan teman-teman Risanti.
Kata Fatma, hanya beberapa teman kampusnya yang bisa dihubungi. Mereka juga sama bingungnya. Tidak tahu keberadaan Risanti.
“Linanthi juga seperti itu, Buk. Semua temannya juga tidak tahu keberadaannya. Malah banyak yang menghilang juga. Dan sampai saat ini belum ada titik terang keberadaannya.”