Jam baru menunjukkan pukul tiga sore. Namun, pintu Toko Bunga Arumdhipuran sudah terpasang tanda “Tutup”. Kalau bukan ada sesuatu yang penting dan mendesak, tidak bakal tutup terlalu cepat. Hal penting itu sedang berlangsung di dalam toko.
Widia Ayu, Indri, Susi, serta Fatma duduk melingkar di lantai toko. Mereka tidak sedang arisan atau makan, melainkan membicarakan temuan terkait hilangnya Linanthi dan Risanti. Temuan pertama saat mereka berada di kantor Lembaga Bantuan Hukum. Yang kedua ialah buku harian Linanthi serta surat yang tadi pagi diserahkan oleh Yudhistira.
Tentu saja, gurat-gurat wajah mereka berempat mengerut serius. Sorot mata mereka membulat tajam. Para bunga yang menyaksikan obrolan mereka ikut-ikutan terbawa suasana tegang.
“Mereka seperti menyusun rencana perang saja,” ujar Bunga Anggrek. Ia sampai terheran-heran.
“Memang. Kalau mau menemukan Linanthi dan Risanti harus memeras otak dan tenaga. Menyusun semua kepingan-kepingan petunjuk.” Bunga Krisan menambahi.
“Hei. Kalian berdua bisa diam, gak?” Bunga Dahlia nampak kesal. “Apa kalian tidak lihat dari tadi kita serius mendengar obrolan penting mereka?”
Seketika Bunga Anggrek dan Bunga Krisan langsung terdiam. Mereka berdua mengitarkan pandangan ke bunga lain yang terlihat fokus dan khusuk. Tertuju pada empat perempuan yang sedang duduk melingkar.
“Meskipun informasi yang kita dapat dari Lembaga Bantuan Hukum tidak banyak, namun itu sangat berharga,” ujar Fatma.
“Benar sekali. Itu bisa jadi petunjuk untuk mencari Linanthi dan Risanti,” imbuh Indri dengan penuh keyakinan. Widia Ayu mengangguk sembari tangannya sibuk mencatat. Sedangkan Susi masih mendekap erat buku harian Linanthi. Sudah seperti memeluk bayi.
Widia Ayu meminta mereka bertiga untuk menceritakan lagi hasil temuan hari ini. Sekecil apa pun itu. Ia hendak merangkum semuanya untuk menyusun petunjuk.
Tadi pagi hingga pukul dua siang, Widia Ayu, Indri, dan Fatma menghabiskan waktu di kantor Lembaga Bantuan Hukum. Mereka sempat terperangah kaget mendapati banyak orang memenuhi ruang kantor sampai membeludak ke halaman. Alasan mereka berada di sana hanya satu. Mencari teman, saudara, anak, dan keluarga yang hilang.
Widia Ayu sempat bertemu seorang ayah mencari dua anaknya yang sama-sama seorang mahasiswa. Laki-laki itu tinggal di luar kota. Harus naik bus sehari semalam supaya sampai di kota ini. Perasaan Widia Ayu tertusuk pilu mendengar cerita si ayah itu.
Fatma malah berjumpa pasangan suami istri yang mengalami nasib tragis. Lembaga Bantuan Hukum berhasil menemukan anak laki-laki mereka yang hilang, namun sudah meninggal. Perasaan Fatma ikut hancur tak karuan.
Pada akhirnya, Fatma dan Widia Ayu tersadar kalau bukan hanya mereka berdua saja yang memikul kesedihan lantaran kehilangan anak tercinta, melainkan ada puluhan bahkan ratusan orang tua bernasib serupa. Mereka sama-sama sedang berjuang menemukan titik terang keberadaan anak mereka.
Dari berbagai keterangan saksi yang berhasil dikumpulkan oleh Lembaga Bantuan Hukum, hari di mana Linanthi menghilang bersama dua temannya saat terjadi bentrokan antara aparat dan mahasiswa tepat di depan kampus. Saat itu aparat merangsek masuk ke dalam kampus untuk mencari pimpinan mahasiswa yang dituduh sebagai dalang kerusuhan. Keadaan di dalam kampus menjadi kacau lantaran aparat menangkap mahasiswa asal-asalan. Tiga truk besar aparat penuh sesak oleh mahasiswa.
Di saat aparat memburu para mahasiswa, Linanthi beserta dua temannya yang semuanya perempuan, berhasil menyusup keluar dari area kampus lewat belakang. Mereka bertiga terlihat menaiki angkutan umum berwarna biru muda menuju ke timur. Sejak saat itu keberadaan mereka tidak terlacak.
Salah satu pengurus Lembaga Bantuan Hukum yang menangani hilangnya Linanthi berujar kalau kemungkinan besar Linanthi melarikan diri ke luar kota. Lantaran angkutan umum biru muda itu jurusan akhirnya ialah stasiun kota.
Satu informasi penting yang membuat Widia Ayu terhenyak kaget ialah Linanthi merupakan salah satu pimpinan di Dewan Mahasiswa bidang Advokasi dan Gerakan. Dari kesaksian salah seorang pengurus Dewan Mahasiswa yang saat ini masih bersembunyi di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Linanthi menjadi target utama penangkapan.
Linanthi selama ini menjadi otak dibalik beredarnya berbagai selebaran bawah tanah untuk menyuarakan demokrasi dan reformasi. Termasuk membagikan novel berjudul Mother karangan Maxim Gorky. Seorang novelis asal Uni Soviet.
Novel Mother diterjemahkan beramai-ramai oleh empat orang, salah satunya adalah Linanthi. Di kalangan gerakan mahasiswa, novel Mother sebagai alternatif bacaan selain novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Aparat melarang keras peredaran novel Bumi Manusia. Bisa masuk penjara bagi yang memilikinya.
Selama menjalankan aksinya, Linanthi menyamarkan identitasnya. Ia mengubah namanya menjadi Anggrek Widuri. Nama itulah yang diburu oleh aparat sampai sekarang. Lantaran itu pula rumah Widia Ayu juga Toko Bunga Arumdhipuran tidak pernah didatangi oleh aparat.
Widia Ayu sampai terperangah mendengar fakta-fakta tersembunyi dari putri semata wayangnya. Ia mematung bisu sampai tak bisa melontarkan kata-kata, saking runyam dan bingung.
Di satu sisi Widia Ayu punya sepercik harapan kalau Linanthi masih hidup dan bersembunyi. Namun, ia tidak bisa membendung gelombang ketakutan lantaran Linanthi adalah salah satu orang paling dicari oleh aparat.
“Aku tidak salah dengar, kan? Identitas baru Linanthi bernama Anggrek Widuri?” ungkap Bunga Anggrek. Nampak tak yakin. Ia lantas mengitarkan pandangannya ke semua bunga. Justru para bunga serentak menatapnya dengan tajam. Antara heran dan takjub.
“Tidak salah. Linanthi memang memakai namamu,” balas Bunga Krisan. Ia tersenyum sumringah. “Apa kamu lupa kalau Linanthi dulu pernah cerita sama Susi, kalau seandainya dia ditakdirkan jadi bunga, dia ingin menjadi Bunga Anggrek.”
Seketika Bunga Anggrek terperangah. Ia pun membuka kembali ingatannya. Saat itu Bunga Anggrek mendengar curhatan Linanthi lantaran putus dengan pacarnya. Linanthi melontarkan perkataan kalau ia muak menjadi manusia. Ia ingin menjadi sekuntum Bunga Anggrek.
Ucapan Linanthi itu sempat membuat Bunga Anggrek tidak bisa tidur semalaman lantaran tersanjung bahagia.
“Ya. Aku masih ingat,” ucap Bunga Anggrek. Suaranya terdengar lirih. “Tapi aku masih belum tahu mengapa Linanthi memilih namaku sebagai identitas palsunya.”
“Kalau itu aku tidak tahu,” jawab Bunga Krisan. Bunga Anggrek termenung. Mencoba menerka-nerka sambil menahan gejolak perasaannya. Bunga Anggrek tak bisa berbohong kalau hatinya bertabur rasa bangga dan bahagia.
Para bunga masih fokus mendengar pembicaraan Widia Ayu, Fatma, Susi, dan Indri. Semakin lama mereka melemparkan fakta-fakta yang mencengangkan. Kini, mereka berempat sedang membahas hilangnya Risanti yang menghilang sejak kemarin.
Menurut beberapa relawan Lembaga Bantuan Hukum yang menangani Risanti, ada kemiripan hilangnya Risanti dengan Linanthi. Risanti hilang saat pecah bentrokan mahasiswa dengan aparat. Kali ini sekalanya lebih besar lantaran banyak mahasiswa dari berbagai daerah bergabung.
Namun, berdasarkan kesaksian teman-teman Risanti, di hari itu ia tidak ada di kampus. Besar kemungkinan Risanti tidak berada di pusaran bentrokan. Selama ini Risanti adalah kordinator bagian P3K. Membantu mahasiswa yang pingsan atau terluka saat berlangsung demonstrasi termasuk ketika terjadi kerusuhan dengan aparat.
Saat terjadi bentrokan hari itu, Risanti tidak terlihat sama sekali. Kesaksian dari teman Risanti yang menjadi relawan P3K, ia sempat melihat Risanti sedang membonceng motor bebek. Dan yang mengendarai motor adalah seorang perempuan. Namun, teman Risanti itu tidak mengenali wajahnya lantaran terlihat dari kejauhan dan memakai helm. Itu terjadi satu jam sebelum gabungan mahasiswa berbagai daerah memulai demonstrasi.
Fatma sempat menanyakan, mengapa Risanti sampai tidak pulang ke rumah. Apa mungkin ia masuk daftar mahasiswa yang diburu aparat lantaran tugasnya sebagai kordinator P3K. Pertanyaan sekaligus keresahan Fatma itu tidak bisa dijawab oleh pengurus maupun relawan Lembaga Bantuan Hukum. Sialnya, Risanti tidak meninggalkan catatan atau pesan pada teman-temannya bahkan untuk ibunya sendiri.
“Apa mungkin Risanti menyusul Linanthi di tempat persembunyiannya?” ujar Indri. Ia nampak yakin dengan hal itu. Fatma dan Widia Ayu saling bertatapan. Mereka berdua sedikit kaget. Tak terlintas sama sekali di pikiran mereka berdua.
“Aku setuju dengan Indri. Mungkin ada hal penting dan mendesak yang membuat Risanti harus menemui Linanthi secara diam-diam.” Begitu penjelasan Susi. Hal itu membuat Fatma dan Widia Ayu bergulat dengan rasa cemas.
“Kalau memang benar demikian. Lantas apa yang terjadi dengan mereka berdua?” suara Widia Ayu bergetar lirih. Susi menggelengkan kepala dengan pelan dan lemas. Widia Ayu dan Fatma menjadi muram.
Untuk sesaat mereka berempat termenung dalam kebisuan. Raut wajah mereka serempak menjadi gundah gulana. Para bunga pun merasakan getaran kesedihan.