“Makin menakutkan saja, ya,” ujar Bunga Lavender. Ia menghela nafas dalam-dalam. “Tadi malam ada penjarahan lagi di Jalan Diponegoro. Lima ruko jadi korbannya.”
“Kabarnya bukan hanya dijarah saja. Tapi dibakar sampai habis.” Bunga Krisan mengimbuhi.
“Pantas saja. Tadi malam aku dengar suara mobil sirene lewat. Terus, aku mencium bau sangit. Pasti berasal dari situ,” ungkap Bunga Iris.
“Ya. Aku juga. Bikin susah tidur.” Bunga Krisan menimpali. Raut Bunga Lavender sedikit mengerut lantaran tadi malam ia tidak mendengar raungan mobil sirene apalagi mencium bau kebakaran. Ia pun berasumsi kalau dirinya terlalu nyenyak dalam lelap tidur.
“Bahkan. Sekitar jam satu dini hari, aku masih dengar suara kerumunan orang berlari-lari di depan toko,” ujar Bunga Iris.
“Serius?” Bunga Lavender terhenyak kaget. Begitu pun Bunga Krisan. “Bukannya sudah diberlakukan jam malam, ya?”
“Aku dengar jelas. Karena belum tidur. Tapi, anehnya. Suara yang kudengar itu seperti sepatu tentara.” Bunga Iris berusaha mengingat-ingat. “Prok. Prok. Prok. Begitu suaranya. Tapi dengan irama cepat.”
“Kalau itu sudah jelas aparat keamanan,” seru Bunga Lavender dengan mantap tanpa keraguan. “Mau siapa lagi malam-malam berkeliaran di jalanan saat situasi kota seperti ini.”
“Ya. Aku juga setuju. Tidak salah lagi,” ungkap Bunga Krisan. Suaranya terdengar lirih dan tertahan seperti tersumbat.
“Apa memang keadaan di kota semakin kacau, ya? Biasanya rombongan tentara berseliweran hanya di siang hari. Ini sampai subuh.” Bunga Lavender mulai dirambati kecemasan. Bunga Iris dan Bunga Krisan tidak langsung menjawab. Mereka saling berpandangan dengan raut bermendung.
“Berita-berita kerusuhan dan penjarahan sudah seperti lalu-lalang kendaraan di jalan saja,” sahut Bunga Krisan. Ia terlihat frustrasi. “Ditambah banyak mahasiswa dari luar daerah berdatangan ke kota ini. Makin sering bentrok.”
Di tengah pembicaraan, mereka terdengar suara dering telepon. Indri yang berada di dekatnya langsung mengangkat. Seketika raut wajahnya sedikit kaget usai mendengar suara si penelepon.
“Bu Widia ada kok, Pak. Tunggu sebentar,” seru Indri dengan terburu-buru. Susi yang melihat gelagat aneh Indri menjadi penasaran.
“Siapa, In?” tanya Susi.
“Pak Lesmana,” jawab Indri sambil berjalan cepat menuju dapur. Susi terhenyak mendengar nama itu disebut. Tak berselang lama Widia Ayu datang dan langsung mengangkat telepon. Ia masih mengunyah sarapan yang baru ia santap.
“Ada apa, Mas?” Widia Ayu memulai pembicaraan. Susi dan Indri tak berkedip memperhatikan.
“Iya. Linanthi masih belum kembali.” Raut wajah Widia Ayu berselimut mendung. “Kamu ke sini saja. Nanti kita bicarakan bareng-bareng. Aku hari ini ada di toko.” Bersamaan dengan kalimat terakhir itu, Widia Ayu menutup teleponnya. Ia termenung sejenak. Setelah itu menghela nafas dalam-dalam. Seperti memuntahkan beban batin lewat hembusan nafas.
“Pak Lesmana mau datang, Buk?” tanya Susi. Widia Ayu mengangguk pelan. Sorot matanya terlihat sendu.
“Aku minta tolong hubungi Fatma, ya. Minta dia datang ke sini. Aku mau selesaikan sarapan dulu,” pinta Widia Ayu.
“Baik, Buk,” balas Susi. Widia Ayu berjalan dengan langkah loyo menuju dapur. Hal itu membuat Susi dan Indri ikutan lesu. Mereka berdua seperti merasakan kegundahan yang mendera Widia Ayu tat kala hendak berjumpa orang bernama Lesmana.
“Apa aku tidak salah dengar? Si Lesmana mau datang ke sini?” ujar Bunga Lavender. Ia nampak bingung dan tak yakin.
“Sama sekali tidak,” jawab Bunga Krisan.
“Mengapa Widia Ayu masih mau berhubungan dengan Lesmana? Bukankah itu malah bikin dia semakin sedih dan sakit hati.” Bunga Lavender mulai kesal. Raut kekecewaan terlihat jelas.
Bunga Iris yang tidak tahu apa-apa tentang Lesmana hanya terdiam menyimak pembicaraan mereka berdua.
“Demi Linanthi. Dia bakal menyingkirkan rasa sakit hatinya.” Ucapan Bunga Krisan barusan membuat Bunga Lavender terhenyak dan tertunduk.
“Padahal sejak berpisah dari Lesmana, Widia Ayu sudah lebih bahagia,” ujar Bunga Lavender. Suaranya lirih bercampur lesu. “Itu yang jadi keinginan Widia Ayu selama ini.”
Bunga Krisan menghela nafas pelan. “Tapi, dunia ini berjalan bukan karena mengikuti keinginan kita.”
Perkataan Bunga Krisan langsung menyengat kesadaran Bunga Lavender. Bunga Iris seperti mendapat tamparan keras. Mereka bertiga pun terdiam sayu sambil memandangi kendaraan yang berseliweran di Jalan Proklamasi.
Sekitar pukul setengah sembilan Fatma sampai di Toko Bunga Arumdhipuran. Membawa keranjang berisi buah-buahan. Ia pun langsung menemui Widia Ayu yang termenung lesu di ruang dapur. Saat Widia Ayu menceritakan perihal Lesmana, Fatma terhenyak kaget. Sambil mengunyah buah-buahan, mereka berempat ngerumpi tentang Lesmana dan kehidupan barunya.
Bunga Lavender yang terkantuk-kantuk lantaran tidur terlalu larut tiba-tiba saja tergugah lantaran melihat mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan toko.
“Hei. Hei. Apa itu mobilnya Lesmana?” seru Bunga Lavender. Seketika para bunga berbondong-bondong melihat mobil yang baru saja terparkir. Mereka terperangah melihat mobil itu.
“Masak itu mobilnya? Kok kelihatan mulus. Kayak baru dibeli kemarin,” ujar Bunga Kamboja. Ia nampak tak yakin.
“Bukankah mobilnya Lesmana itu mobil Kijang bekas berwarna merah?” Bunga Krisan menimpali.
“Iya, benar. Aku masih ingat wujud mobil itu,” ungkap Bunga Lavender. Begitu yakin tanpa keraguan.
“Wah. Wah. Setelah punya kehidupan baru. Kini punya mobil baru,” celetuk Bunga Dahlia dengan nada sewot.
Yang pertama kali keluar dari mobil ialah seorang laki-laki berkumis tipis tak berjenggot. Mengenakan kemeja merah marun dipadu dengan celana jean biru. Sepatu kulit coklat tua menghiasi kedua kakinya. Rambutnya hitam mengkilat, dibelah kiri. Ketika kedua matanya menatap papan bertulis Toko Bunga Arumdhipuran, seketika raut wajahnya memuram. Tercipta gurat cemberut. Bulu kumisnya serentak melengkung ke bawah. Ia menggelengkan kepala sebanyak tiga kali.
“Datang juga kau Lesmana,” seru Bunga Lavender. Suaranya terdengar berat dengan penekanan kuat. Sebagian besar bunga yang ada di dalam toko berbarengan menatap Lesmana dibarengi dua luapan perasaan, yaitu kemarahan dan kebencian.
Dan laki-laki bernama Lesmana yang tidak disukai oleh sebagian besar bunga ialah suami Widia Ayu, ayah kandung Linanthi Pandanwangi. Dua setengah tahun lalu Lesmana dan Widia Ayu resmi bercerai. Perpisahan mereka berdua nampak baik-baik saja. Begitu pun juga dengan Linanthi. Ia menerima keputusan kedua orang tuannya. Rupanya itu hanyalah pura-pura. Mereka berdua tidak bisa menutupi rasa sakit hati. Di awal-awal perceraian, Widia Ayu dan Linanthi hampir tiap malam menangis di dalam toko. Para bunga menjadi saksi bagaimana hancurnya perasaan mereka, sampai ibu dan anak itu perlahan sanggup bangkit lagi.
Yang membuat para bunga benci setengah mati pada Lesmana ialah penyebab perceraian itu. Lesmana menghamili seorang mahasiswi, anak pemilik restoran terkenal di kota ini. Lesmana yang jadi kepala koki di restoran itu diam-diam menjalin hubungan dengan anak bosnya sendiri.
Widia Ayu yang mendengar pengakuan Lesmana bahwa selingkuhannya hamil, hanya bisa terdiam kelu. Hampir dua hari ia terbujur di kasur, menolak makan. Sampai harus dirawat di rumah sakit lantaran kesehatannya memburuk.
Awalnya Widia Ayu menolak untuk berpisah. Justru Linanthi yang menghendaki itu. Ia meyakinkan ibunya kalau mereka berdua akan lebih bahagia dengan melepas Lesmana. Keputusan itu pun didukung oleh keluarga besar Widia Ayu beserta teman-temannya termasuk Fatma, Devina, Indri, dan Susi.
Meskipun gelombang marah, sedih, dan benci terus menghantam tiada ampun, akhirnya Widia Ayu memutuskan berpisah. Lantaran Linanthi memilih untuk bersama Widia Ayu, Lesmana bersedia untuk membantu pendidikan Linanthi. Sebenarnya Widia Ayu menolak, sebab ia bisa menyekolahkan Linanthi. Namun, Lesmana bersikeras. Ia mengatakan itu sebagai wujud tanggung jawabnya. Dan sebagai cara supaya Lesmana masih bisa menemui Linanthi.