Toko Bunga Arumdhipuran

tuhu
Chapter #8

Bunga Petunia

Sejak malam hingga pagi menjelang, perasaan Bunga Petunia disesaki berbagai firasat buruk. Batinnya tidak tenang sama sekali. Namun, ia tidak tahu apa sebabnya. Ia sempat meyakini kalau tumpukan rasa gelisahnya lantaran keadaan di jalanan kota semakin kacau. Rupanya bukan itu.

Bunga Petunia sampai bingung dan frustrasi lantaran tidak sanggup menyelami kegelisahannya sendiri. Sampai pukul delapan pagi ini ia belum tidur sama sekali. Ia merasakan lemas dan layu dari tangkai, kelopak, hingga mahkota. Seperti tak bernyawa. Bahkan ia sudah membayangkan hendak mati. 

“Hei. Kamu kenapa, Petunia? Pucat sekali mahkotamu,” ujar Bunga Iris. Ia begitu kaget mendapati bunga di sampingnya itu seperti pohon rapuh yang hampir rubuh. Bunga Petunia melirik Bunga Iris.

“Aku merasa tidak layak untuk hidup. Aku ingin mengakhirinya,” ucap Bunga Petunia dengan suara mengalun lirih dan lemah. Hal itu membuat Bunga Iris terhenyak kaget dan bingung.

“Jangan berkata seperti itu. Kamu layak hidup. Semua bunga di sini pun layak hidup,” ungkap Bunga Iris. Ucapannya masih belum menenangkan Bunga Petunia. Ia terdiam dalam kemuraman. “Sebenarnya ada apa? Apa yang kamu gelisahkan?”

Bunga Petunia menghela nafas pelan. Mahkotanya terlihat pucat. “Aku juga tidak tahu. Tak bisa dijelaskan. Rasanya sesak sekali.”

Belum sempat Bunga Iris melontarkan perkataan lagi, ia merasakan getaran yang kuat. Seperti goncangan gempa.

Semakin lama goncangan terasa kencang. Sampai kaca jendela mengeluarkan bunyi. Semua bunga terperangah kaget. Mereka saling pandang dalam diam dan panik. Tubuh mereka dijalari aliran getaran. Beberapa bunga sampai berjatuhan mahkotanya. Saking hebatnya getaran. Lampu-lampu ikut bergoyang.

Tak hanya para bunga yang merasakan bumi seperti dibor. Susi, Indri, dan Widia Ayu ikutan panik.

“Ada apa ini?” seru Widia Ayu. Ia sampai berpegangan ke dinding saking takut terjatuh. “Bukan gempa, kan?”

“Sepertinya bukan, Buk.” Susi yang sedang menyapu lantai harus berhenti. Sedangkan Indri hampir menumpahkan kopi yang ia buat.

Susi merasa kalau getaran ini tidak mungkin gempa bumi lantaran terjadi cukup konstan. Malah seperti goncangan di dalam kereta api.

Mereka semakin merasakan kalau arah getaran semakin mendekat dan kuat. Disusul derap suara ratusan sepatu lars. Berdentam-dentam menjejak jalan.

“Aku tahu apa yang akan lewat depan toko ini,” seru Bunga Dahlia. Tanpa keraguan.

“Ya. Sepertinya aku juga tahu. Tapi, kalau dilihat dari kuatnya getaran. Yang bakal lewat ini berjumlah cukup banyak,” balas Bunga Kamboja. Ia malah takut dengan ucapannya sendiri. Hal itu juga dirasakan oleh bunga lain. Mereka dijalari kecemasan. Terlebih getaran yang makin kuat membuat tubuh mereka sakit.

Mendengar suara gaduh hentakan kaki yang terus mendekat, Widia Ayu, Indri, dan Susi lekas keluar toko. Tidak hanya mereka saja. Orang-orang yang pagi ini sudah ada di ruko pun keluar membawa kecemasan sama.

“Mau ada perang?” jerit Susi denga suara melengking. Tak ada jawaban lantaran Widia Ayu dan Indri terdiam membeku, kedua mata mereka membelalak ngeri melihat iring-iringan ratusan tentara dengan puluhan truk besar serta kendaraan tempur yang moncongnya siap memuntahkan rudal.

Tidak hanya tubuh mereka bertiga yang gemetar takut menyaksikan itu, melainkan orang-orang yang berada di sepanjang Jalan Proklamasi. Kendaraan yang berlawanan arah dengan iringan kendaraan tempur itu ada yang langsung putar balik atau menepi.

Suara hentakan sepatu lars tentara dipadu derit kendaraan tempur menggilas aspal jalan, menciptakan suasana mencekam. Belum lagi getaran hebat yang dihasilkan.

Beberapa minggu ini Jalan Proklamasi sudah biasa dilalui truk tentara. Namun, itu hanya satu atau dua saja, tidak sebanyak sekarang ini. Ditambah moncong-moncong kendaraan tempur. Wajar kalau Susi menjerit histeris. Mengira hendak ada peperangan.

“Aku takut, Buk,” ucap Indri. Ia memegang erat tangan kanan Widia Ayu. 

“Ayo kita masuk saja,” pinta Widia Ayu. Mereka bertiga berjalan pontang-panting menuju ke dalam toko. Lantas menguncinya rapat-rapat. Hal itu dilakukan juga orang-orang di sekitar ruko. Mereka memilih untuk berlindung di dalam. Iring-iringan tentara dan kendaraan tempur itu bukanlah tontonan.

Meski belum melihat rombongan tentara lewat di depan Toko Bunga Arumdhiuram, para bunga sudah tahu apa yang membuat tiga orang itu tunggang langgang ketakutan. Sampai-sampai mereka bertiga masuk ke ruang dapur dan menguncinya.

Benar saja, para bunga akhirnya melihat barisan tentara memanggul senjata, berdampingan dengan kendaraan tempur, bergerak melewati Toko Bunga Arumdhipuran.

Sialnya, mereka tidak bisa berlari dan bersembunyi di ruang dapur seperti yang dilakukan Widia Ayu, Susi, dan Indri. Para bunga hanya menahan gemuruh ketakutan, tegang, panik, dan menjerit ketakutan.

Mereka menyaksikan iringan itu bukan sekelebat kendaraan umum lewat, hampir setengah jam lamanya. Menandakan saking banyaknya pasukan yang menyesaki Jalan Proklamasi.

Begitu kengerian itu sudah berlalu, para bunga masih merinding ketakutan. Tangkai-tangkai mereka merasakan sisa-sisa getaran yang masih kuat.

“Sebentar lagi kiamat. Kita bakal mati,” seru Bunga Petunia. Mendengar lontaran ketakutan Bunga Petunia, tubuh para bunga menjadi mengerut, lemas tak berdaya. Mereka seperti pasrah menghadapi takdir kematian yang menyembul di depan mata.

“Jangan panik. Jangan takut. Kita akan baik-baik saja. Mereka hanya lewat saja.” Bunga Krisan berteriak cukup keras untuk menenangkan para bunga. Meski dalam hatinya begitu kalut. Sayang sekali, usahanya nampak sia-sia, seperti terhempas angin kencang. Hampir seluruh bunga dicengkeram ketakutan hebat.

“Sudah pasti ada kerusuhan besar. Tinggal nunggu waktu saja kerusuhan itu merembet ke sini,” ujar Bunga Mawar. Ia berkata dengan raut serius. Tentu saja makin menciptakan kegaduhan di antara para bunga.

Widia Ayu, Susi, dan Indri keluar dari ruang dapur dengan membawa wajah pucat pasi. Mata mereka membulat tajam. Celingak-celinguk tertuju ke jalan. Seolah hendak memastikan kalau iring-iringan tentara sudah berakhir.

Meskipun sudah tidak ada lagi, mereka bertiga masih dihinggapi kecemasan hebat. Seolah sesuatu yang mengerikan bakal terjadi lagi.

Mereka pun lekas menyalakan televisi sekaligus memutar saluran radio. Sahut-sahutan antara dua sumber berita itu tidak dapat dihindarkan. Bukanya bingung, mereka nampak begitu serius memantangi keduanya. Widia Ayu lebih menyimak berita dari radio.

Lihat selengkapnya