Selama tiga hari ini Bunga Krisan serta bunga lain yang ada di Toko Bunga Arumdhipuran menyaksikan kesibukan berbeda yang dilakukan oleh Widia Ayu, Susi, dan Indri. Mereka menjadi tukang bangunan. Memperbaiki kursi, meja, rak, jendela; memasang kaca jendela dan gagang pintu. Tidak hanya itu, mereka juga membantu ruko lain yang bernasib serupa, ada juga lebih parah. Para penghuni ruko sepanjang Jalan Proklamasi menjadi giat bergotong royong.
Pagi ini, mereka bertiga bersiap untuk membuat rak bunga. Widia Ayu membeli kayu berkualitas paling bagus supaya tahan lama dan tentunya kuat. Meskipun harus menggelontorkan banyak uang.
Untuk sementara waktu mereka menggunakan ruang dapur yang cukup luas untuk aktifitas membuat rak-rak bunga. Ditemani kepulan kopi dan teh yang aromanya menguar sedap, mereka melakukan pekerjaan itu dengan serius.
Sedangkan para bunga menikmati gemericik air hujan yang sejak subuh deras memburai. Sudah tiga hari ini hujan selalu setia menemani. Membasahi setiap sudut-sudut kota.
“Hari ini bakal ada kejutan apa lagi?” ucap Bunga Krisan. Suaranya terlontar lirih dan lemas. Para bunga sudah mendengar itu hampir tiap pagi.
Semenjak kejadian pengrusakan dan penjarahan itu semua bunga diliputi kecamuk cemas tiap hari. Di benak mereka tersembul satu ketakutan yang sama. Siapakah bunga yang akan jadi korban selanjutnya? Bakal seperti apa wujud hari ini?
Memang setelah peristiwa mengerikan itu tidak ada lagi kejadian susulan. Paling tidak di sepanjang Jalan Proklamasi. Kehidupan berjalan seperti biasa, meskipun memendam trauma yang luar biasa.
“Kuharap kejutan baik,” balas Bunga Dahlia. Ia nampak tak yakin dengan perkataannya. Namun, diam-diam para bunga senang mendengarnya. Raut muram mereka perlahan memudar. Yang dibutuhkan mereka sekarang ialah sepercik harapan untuk menjalani hari selanjutnya.
Saat para bunga sedang melamun muram menatap rintik hujan, mereka melihat Fatma berlari tergopoh-gopoh menuju ke toko. Payung hijaunya ia letakkan di samping pintu.
Susi menyambut Fatma dengan wajah gembira. Sudah dua hari ini Fatma selalu datang ke toko untuk membantu memperbaiki kekacauan.
“Sudah mulai buat raknya?” tanya Fatma.
“Sudah, Buk. Belum lama, kok.” Susi lantas mengantar Fatma menuju dapur. Susi tidak ikut membuat rak bunga lantaran pagi ini ia mendapat giliran untuk menjaga toko. Rupanya masih banyak orang yang membeli bunga. Justru meningkat sejak kejadian itu.
Hari ini Fatma membawa keranjang buah dan jajanan pasar. “Keadaan di sekitar rumahmu bagaimana? Sudah aman?” tanya Widia Ayu saat pada Fatma saat mereka menyantap buah dan jajanan pasar.
“Sudah mendingan. Tadi aku berangkat ke sini juga lancar.” Jawaban Fatma membuat Widia Ayu dan Indri menghela nafas lega. Fatma lantas melontarkan pertanyaan. “Sudah ada balasan surat?” suaranya lirih dan berat. Membuat mereka berdua terdiam beberapa saat. Termasuk mengunyah makanan.
“Belum, Buk,” balas Indri. Raut wajah Fatma sedikit bermendung, seperti gumpalan awan pagi ini. Fatma menghela nafas.
“Mungkin kita harus lebih sabar menunggu,” ungkap Widia Ayu. Fatma mengangguk lemah.
Sementara itu, di ruang utama toko, ketika Susi baru saja menyalakan televisi untuk melihat berita, seketika ia terperanjat kaget. Susi menyaksikan siaran langsung Presiden Soeharto berdiri di depan dua mikrofon, mengenakan peci hitam, dan kacamata. Presiden Soeharto memegang kertas yang ia genggam erat.
“Ada apa ini? Mau ada pengumuman besar, kah?” seru Bunga Iris. Suaranya gemetar.
“Tentunya. Lihat saja orang-orang penting yang ada di belakang Presiden Soeharto,” ujar Bunga Krisan. Ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan serentak, semua bunga ikut menatap ke arah televisi.
Susi yang dilanda kebingungan sekaligus panik lantas berjalan pontang-panting menuju ruang sebelah.