Semenjak Ibuku menikah dengan lelaki pilihan nenek saat aku berumur sepuluh tahun, hidupku perlahan mendekati kehancuran. Nenekku dengan bangga mengatakan bahwa ia sudah bisa pergi dengan tenang karena sudah menghadirkan sosok Bapak dan suami untuk Ibuku. Tak lama dari ucapannya setelah menyaksikan pernikahan kedua Ibu, ia pergi menghampiri suami sekaligus kakekku yang telah berpulang terlebih dahulu dengan seulas senyuman tanpa tahu telah menciptakan neraka baru untuk aku dan Ibu. Kalau saja aku bisa membongkar makamnya dan marah sepuasnya kepada Nenek, akan aku lakukan. Aku akan bilang bahwa suami yang ia pilih untuk Ibu bagai duri yang menyakitkan dan bukan sosok Bapak yang selama ini aku bayangkan sebagai sosok yang akan memberi kasih sayang kepada keluarganya.
Gani, suami Ibu, yang tak sudi ku sebut Bapak selalu bertindak kasar. Ia dengan perlahan merenggut senyumku yang dulu pernah ada. Menanamkan rasa ketakutan dari tindakannya yang selalu memukuli Ibu dan aku ketika suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Aku dan Ibu bagai seorang tawanan yang tak bisa pergi jauh dari rumah. Pak Gani seperti menyimpan penyadap dari barang bawaan yang selalu ku bawa pergi. Ia juga tetap memukuli Ibu yang sakit hingga terkapar tak berdaya. Aku yang berusaha menolong Ibu menyalahkan diri sendiri karena tak bisa melawan Pak Gani yang memiliki tenaga lebih kuat daripadaku.
“Bi-bianca, tunggu sebentar lagi ya! Dia pasti akan menolong kamu.” Suara Ibu yang lemah saat terbaring di tempat tidurnya membuatku bertanya-tanya apa maksudnya. Siapa dia? Dia siapa yang akan menolongku? Pertanyaan itu sama sekali tidak ingin kujawab karena aku sudah menyerah dengan harapan apapun. Aku hanya meminta Ibu untuk istirahat agar kembali sehat dan sepertinya Ibu mendengarkanku dengan baik kali ini karena beberapa hari kemudian, Ibu benar-benar beristirahat tanpa membuka kedua matanya lagi. Kepergian Ibu meninggalkan kekosongan baru di hidupku dan menumbuhkan rasa ketidak inginan ku dalam menghadapi hidup. Rasa muak karena menyaksikan sandiwara Pak Gani yang mengurus segala pemakaman Ibu agar orang lain tidak tahu kelakuan buruknya membuatku semakin marah dan hanya ingin mengumpatnya.
“Brengsek! Kembalikan Ibu!” Teriakku dengan murka di hadapan Pak Gani yang berusaha menenangkanku. Dia dengan seenaknya mengatakan bahwa aku memiliki gangguan mental di hadapan orang-orang yang berkunjung dan menyeretku ke arah kamar lalu menamparku. Ia memperingatkan untuk tidak bertindak gegabah jika tidak ingin kuburan Ibu dirusak nantinya dan mengancamku tidak akan bisa ikut mengantar Ibu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ancamannya berhasil membuatku terdiam lalu setelah kepergiannya aku menangis sejadi-jadinya.
Setelah enam bulan Ibu meninggalkanku, kondisi yang aku alami semakin memburuk. Aku mengalami gangguan panik dan jika mendengar suara langkah kaki dari Pak Gani membuatku tidak bisa tidur dengan tenang. Pak Gani juga masih dengan seenaknya menumpahkan kekesalannya sehabis pulang kerja kepadaku. Karena tidak tahan, aku sempat mencoba mengakhiri hidup beberapa kali, tapi ia berhasil menyelamatkanku. Berulang kali Pak Gani mengatakan bahwa aku harus hidup agar ia bisa mendapat pujian dari Ibuku karena bisa menjaga anaknya tetap hidup.