Awal mula aku bekerja di Toko Ice Cream Happiness yang dimiliki oleh seorang laki-laki bernama Satya, aku sering sekali melakukan kesalahan. Aku juga bisa merasakan bahwa pegawai bernama Laras tidak menyukaiku. Dia selalu menyindirku dengan mengatakan bahwa aku tidak becus bekerja dan merendahkanku karena aku masuk dengan bantuan Pak Mail. Jika perkataannya sudah keterlaluan, aku selalu menjawabnya dengan tenang namun dipastikan menyebalkan agar ia semakin kesal.
Terlepas dari orang yang tidak menyukaiku di tempat kerja, aku kagum dengan sistem kupon yang diterapkan di Toko Ice Cream Happiness yang baru aku ketahui setelah seminggu bekerja. Jika aku memiliki tiga kupon, aku akan mendapatkan satu ice cream secara gratis. Pengetahuan baru mengenai kupon yang baru kupelajari itu, aku beritahu kepada salah satu pelanggan yang tampaknya sangat menyukai ice cream sepertiku. Aku melakukan itu karena ingin membantunya untuk mengganti ice cream miliknya yang terjatuh oleh seorang perempuan yang tidak menggantinya dan juga berniat untuk membantunya setelah tidak sengaja mendengar bahwa ia kesulitan membayar buku Lembar Kerja Siswa yang membuatnya harus berhemat. Sepertinya aku bersimpati karena tahu bagaimana rasanya kesulitan untuk bisa belajar dengan benar.
Aku melihat dia sedang duduk sambil meratapi gelas ice cream yang tadi terjatuh. Dengan memberanikan diri, aku menghampirinya dan memberikan tiga kupon yang ku ambil dari dalam toko. Namun ketika aku memberikan tiga kupon itu kepada pelanggan yang diketahui bernama Tiara, ia nampak ragu dan bilang bahwa aku sedang berusaha mengiklankan ice cream dengan cara memberikan kupon kepadanya. Mendengar itu, aku tentu langsung menyanggahnya karena bukan itu tujuanku memberikan kupon secara cuma-cuma kepada Tiara. Aku katakan saja bahwa tiga kupon yang kuberikan kepadanya adalah hasil dari mengambil sembarangan dari pembeli yang membuang karena tidak butuh. Aku terpaksa membohonginya karena ingin Tiara percaya dan niat ingin membantunya terlaksana. Keesokan harinya, aku melihat Tiara diam-diam mulai mengumpulkan kupon dari para pembeli yang mau menolongku saat aku meminta mereka untuk membuang kupon saat keluar dari toko ice cream.
"Ka/Mas/Mba, tolong buang satu kupon ini pas nanti keluar pintu ya! Jangan ke tempat sampah, ke area pintu aja." Berulangkali aku mengucapkan kepada para pembeli yang melihatku dengan aneh.
"Tenang, nanti ada yang ngambil. Jadi nggak akan berserakan. Pertolongan Ka/Mas/Mba ini Saya pastikan bisa bermanfaat." Yang dibalas dengan anggukan kepala walau aku yakin mereka sama sekali tidak mengerti apa yang sedang aku lakukan.
Beberapa hari setelah melakukan aksi membuang kupon secara diam-diam untuk di ambil oleh Tiara, Ia mendatangiku dengan senyum lebar dan mengatakan ingin membeli ice cream dengan kupon yang ia kumpulkan. Melihat senyum lebar di raut wajahnya, entah mengapa membuatku ikut bahagia. Aku bisa melihat ia malu karena mengambil kupon dari para pembeli yang membuangnya sembarangan, tapi aku bilang itu tidak masalah dan menawarkan diri untuk membeli dua puluh satu kupon yang berhasil Tiara kumpulkan seharga lima ratus ribu rupiah dengan alasan bahwa aku membutuhkan kupon itu karena tak sempat mendapatkannya dikala disibukkan dengan pekerjaanku.
Trikku sepertinya berhasil walau Tiara terlihat seperti tidak percaya atas apa yang aku katakan. Ia memintaku untuk memotong bayarannya karena ingin membeli empat ice cream untuk dirinya, mendengar itu aku langsung menyetujui. Setelah aku membeli kupon darinya, aku bisa melihat jelas betapa senangnya Tiara dari raut wajahnya itu. Kak Satya yang saat itu mengetahui rencanaku mengatakan ingin ikut membantu setelah melihat kepergian Tiara. Ia mengatakan hanya akan memotong gajiku sebesar dua ratus lima puluh ribu yang sebelumnya aku meminta kepada Kak Satya untuk membayar sebagian gajiku sebesar lima ratus ribu rupiah yang akan ku berikan kepada Tiara. Mengetahui Kak Satya ingin ikut membantu membuat perasaanku semakin senang. Aku juga merasa bersyukur karena sekarang, aku dikelilingi oleh orang yang baik.
Di suatu hari yang terik, aku melihat seorang laki-laki yang beberapa waktu lalu menuduhku sebagai seorang penculik anak. Namanya Hendra. Ketika pertama kali bertemu dengannya, aku merelakan mochi ice cream rasa coklat yang sengaja aku simpan untukku nikmati setelah pulang bekerja. Dan kini, aku melihat sorot matanya yang dikelilingi rasa keputusasaan yang dalam karena kali ini ia tidak kebagian mochi ice cream rasa coklat lagi karena habis.
"Segitu putus asanya dia karena mochi ice cream rasa coklat habis. Kata aku juga apa kan, tambah yang banyak Kak!" Kak Satya hanya tertawa mendengar omelanku dan bilang akan segera menyediakan lebih banyak rasa coklat setelah mendapat banyak permintaan dari para pelanggan.
Mendengar itu membuatku sedikit lega dan aku pun mendekat ke arah tempat duduk Pak Hendra sambil membawa pesanan Smoothies ice cream vanila. Pak Hendra memintaku untuk mencari mochi ice cream rasa coklat lagi, katanya siapa tau ada yang terselip di display freezer. Tapi dengan berat hati, aku mengatakannya tidak ada dan aku juga bilang kepadanya tidak menyimpan mochi ice cream rasa coklat seperti sebelumnya karena tidak kebagian saat ingin membelinya. Pak Hendra nampak terlihat semakin pasrah, ia pun menceritakan masalah yang sedang terjadi saat aku mencoba memprediksi masalahnya. Jujur, aku tidak begitu paham tentang masalah pernikahan yang sedang dialami Pak Hendra. Melihat keluargaku yang hancur berantakan, membuatku memiliki pandangan yang terkesan negatif terhadap hal itu. Persoalan tentang memiliki anak pun membuat aku sedikit mempertanyakan keinginan Pak Hendra.
Apa Pak Hendra nanti bakal ninggalin anaknya ya kalau udah punya? Seperti Bapak kandungku yang kata nenek meninggalkanku karena sudah tidak menyukai Ibu dan aku. Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam benakku. Mungkin karena itu tidak relate denganku yang merasa iri melihat Pak Hendra begitu mencintai istrinya. Ku sudahi semuanya dengan memberi beberapa saran kepada Pak Hendra untuk bisa mengkomunikasikannya terlebih dahulu. Karena menurutku itulah kuncinya, komunikasi, yang tidak bisa pernah disepakati jika dalam kehidupan orang tuaku. Ku berikan juga rasa mochi ice cream yang berbeda-beda dengan memberikan sebuah harapan kepadanya bahwa mungkin istrinya akan menyukai ice cream dengan rasa vanilla dan durian seperti pelanggan lainnya yang langsung menyukai ketika aku menawarkannya saat tidak ada rasa coklat. Pak Hendra pun berterimakasih atas saranku yang tidak seberapa dan menerima beberapa mochi ice cream yang ku beri.
Kepergian Pak Hendra dari toko ice cream membuatku berpikir bahwa masih ada sosok seorang suami yang mencintai istrinya walau memang diekspresikan dengan cara yang begitu sulit, namun tidak toxic apalagi menyalurkannya dengan kekerasan. Beberapa hari setelahnya, Pak Hendra datang lagi berkunjung untuk membeli mochi ice cream rasa vanilla dan durian. Kemudian memberitahuku bahwa hubungan dengan istrinya sudah membaik. Aku merasa senang mendengarnya, ditambah lagi, kali ini Pak Hendra datang bukan untuk menyelesaikan masalah tapi untuk membeli mochi ice cream rasa vanila dan durian sebagai hadiah untuk istrinya sebagai rasa syukur karena memilikinya. Pak Hendra juga bilang kepadaku bahwa bantuan sederhana yang aku berikan itu bisa membawa kebahagiaan untuk orang lain. Kata-kata dari Pak Hendra itu terus terngiang dalam benakku sehingga aku ingin terus berbuat baik dan membantu orang lain dengan semampuku.