Bahkan hal semacam keistimewaan yang diberikan pada orang cantik atau ganteng juga berlaku di keluarga Tantri. Tak cukup di perkuliahan, di rumah ia pun merasakan ketidakadilan itu.
Ia menatap semangkuk nasi dengan telur ceplok di atas meja. Orang tuanya bilang lauk sudah habis untuk bekal adiknya, Sasya yang pergi study tour dan kakaknya Tiara yang ada di rumah.
Hanya itu yang tersisa.
Mereka meminta Tantri untuk memaklumi. Ya, hal itu memang biasa terjadi. Tadi Ibu masak Ayam goreng dan cah kangkung. Tiara dan Sasya tak suka telur ceplok. Karena Sasya harus bekal banyak. Jadi semua ayam dibawanya. Meninggalkan satu untuk kak Tiara dan telur ceplok untuknya.
Tak sekali dua kali ini terjadi, bahkan banyak sekali. Lebihnya Tantri memang sering mengalah. Namun, sang ibu tak pernah peka. Ibu pikir Tantri mudah menerima. Sebenarnya gadis itu hanya menahan diri. Ibu sering memberikan banyak hal pada kedua orang itu terkecuali dirinya.
Satu kali karena kejadian itu sering terjadi dalam hidupnya, Tantri berpikir kalau dia adalah anak angkat di keluarga. Namun menepisnya kuat-kuat dari kepala. Tak ingin bertanya. Karena takut jika itu benar ia tak akan bisa menerima kenyataan.
Mendiang nenek Tantri pernah berkata. Ia sempat menjadi anak yang tidak diinginkan di keluarga. Maksudnya, saat mengandungnya, sang ibu mengalami sakit yang cukup serius sehingga dokter mengatakan harus mengorbankan salah satu, antara Tantri atau ibu. Untuk selamat saat persalinan berlangsung.
Ayah memilih ibu, kata nenek sebab Tiara saat itu masih kecil. Alasan yang tidak bisa ia terima. Apalagi saat nenek mengatakan kedua orang tuanya menginginkan anak lelaki. Namun, saat di USG ia adalah perempuan.
Lalu, Tuhan berkata lain, ia lahir dalam keadaan selamat begitu juga dengan sang ibu. Kulitnya sawo matang sendiri padahal Ibu dan sang Ayah berkulit putih. Atas alasan itu ibu tak mau menyusuinya. Jadi neneklah yang lebih andil dalam hidup Tantri hingga ia tumbuh besar sampai sekarang.
Sayangnya sang Nenek pergi saat ia baru saja lulus SMA.
Lebih lagi saat orang-orang memuji penampilan kakak dan adiknya. Orang tua Tantri juga sering membanggakan mereka dan melewatkan dirinya begitu saja. Waktu ketiganya masih bayi, Tiara dan Sasya lebih dipuja dan diperebutkan untuk dipangku dibanding dengannya.
Padahal, Tantri tak seburuk itu, ia juga punya prestasi. Ia sering menjuarai lomba menggambar atau melukis yang di adakan sekolah dulu. Ya, sebenarnya, hanya itu satu-satunya yang bisa ia banggakan dan hal satu-satunya yang bisa dinilai bukan dari wajahnya, tapi hasil karya.
Tantri menghela nafas, menutup tudung saji. Para penghuni rumah sudah berada di kamar masing-masing. Ia memutuskan menyambar jaket dan pergi keluar. Membeli lauk yang menyelerakan nafsu makannya.
Jalanan sudah mulai sepi, malam ini. Maklum sudah pukul sepuluh malam. Tantri menyusuri trotoar yang dihuni pedagang kaki lima. Lalu berhenti di depan gerai mie ayam dan memesan satu porsi.
Pulang dari sana langkahnya terhenti tepat di depan sebuah bangunan, di samping pohon beringin dengan akar gantungnya yang lebat.
Toko dengan tulisan M153 dan cat serba hitam itu menarik perhatiannya sejenak. Tantri berdiri sembari memandangi toko itu penasaran.
“Aku tak pernah melihat toko ini sebelumnya,” gumamnya berfikir. Setiap lewat sini, ia tak pernah melihatnya ada. Atau kali ini pertama kali mereka buka dengan konsep penuh misteri.
Ia berjalan mendekat. Menatap pintu kaca agak buram itu sembari melihat-lihat ke dalam.
“Cari apa, Nona?“
“Astaga!“ Tantri tersentak kaget. Saat menoleh, seorang wanita berusia kira-kira sepuluh tahun lebih tua darinya itu tersenyum ramah. Dengan dress hitam dan topi jaring hitam.
“A—aku hanya melihat-lihat,” ucap Tantri gugup. Tak tahu dari mana wanita ini muncul. Tiba-tiba saja ada dibelakangnya.
“Mau masuk tidak? Kami punya beberapa barang menarik untukmu.“
“Oh tidak… aku hanya….“ ucapannya terpotong. Wanita itu mendorongnya paksa masuk ke dalam toko.