Ini bukan kisahku, namun sepenggal kisah seorang teman yang sudah tidak kuat memendam rasa sakit yang perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga maupun suaminya. Entahlah, aku hanya memenuhi panggilan telepon darinya untuk bertemu.
Dia berkata, ingin sekali bercerita kisah tidak menyenangkan dari segelumit masalah yang dia rasakan setelah perlakuan tak menyenangkan itu. Bahkan, dia hampir gila oleh bayang-bayang penyiksaan dari suaminya.
Pagi, sebenarnya masih terlihat indah tapi kali ini tak seindah kemarin. Langit terlihat mendung, awannya tak terlihat putih cerah. Hitam ke-abu-abuan. Suara petir sedikit bersahutan, namun tanda hujan akan turun belum juga kelihatan. Aku menghela napas, lalu menyeruput teh manis hangat yang kupesan tadi.
Klinting.
Suara lonceng pada pintu keluar masuk kafe berbunyi. Aku menoleh, "Akhirnya, dia datang juga!" gumamku pelan. Lalu, senyum dari bibirnya yang sedikit lembab dan kemerahan merekah di wajah perempuan yang kini berhijab.
"Hai, Dra, sudah lama?" tanya perempuan itu, aku sedikit pangling dengan penampilannya saat ini. Sejenak tadi, kukira dia orang yang berbeda sesaat netraku menangkap dia ketika masuk tadi.
Aku menghela napas, "Ya, biasalah. Gue kan selalu on time, gak kayak elu selalu telat!" ujarku.
"Iya ... iya, emang elu selalu on time kalau janjian. Tapi kalau datang ke kantor, selalu siang!" katanya meledek. Membalas ocehanku. Dia, bernama Karina, meletakkan tasnya di meja dan duduk di depanku.
"Itu dulu, sekarang gak dong!" elakku tak mau kalah. Lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan buat Karina. "Mba," panggilku pada salah satu pelayan yang sedang membersihkan meja. Pelayan itu melap tangannya, bergegas ke tempatku sambil mengeluarkan pulpen dan kertas.
"Mau pesan apa, Pak?" tanya pelayan bersiap mencatat pesananku.
"Saya pesan sama kayak gini, ya, buat temen saya," Aku menunjuk makanan dan minumanku sendiri, kemudian menunjuk ke Karina yang senyum simpul. Pelayan itu mengangguk, kemudian pergi. Tapi ada yang aneh dengan ekspresi pelayan itu, dia seolah memandangku heran dan sedikit bergidik jijik. Sebenarnya ada apa dengan sikap pelayan itu.
Aku menoleh ke Karina, tak ada yang beda. Tetapi dia terlihat kurang fit, dan itu terlihat dari wajahnya yang pucat. Aku menghela napas, dan berusaha mengabaikan pelayan itu dan fokus pada Karina. Tak sabar untuk mendapatkan cerita darinya.