Saat itu, hari begitu terik, Karina baru saja pulang kuliah, lelah dan kepanasan, namun sebuah berita mengejutkan membuat dia akhirnya bertengkar dengan kedua orang tuanya. Tepatnya di ruang tamu yang tak terlalu besar, Bapak dan Ibunya sudah menunggu kedatangan Karina sedari tadi.
"Apa? Menikah?" Kata "Menikah" membuat dia setengah berteriak. Sepulang kuliah dengan badan yang masih lelah, otak yang masih capek berpikir dan kulit yajg masih terbakar terika matahari, dia harus dikejutkan dengan berita itu. Wajah Arif, bapak dari Karina tampak serius, tidak menunjukan bahwa dia sedang bercanda, dan Bapaknya memang tidak bercanda masalah ini.
Karina anak pertama dari dua saudara, sedari dulu dia merasa selalu dibedakan dengan adiknya yang berbeda usia sekitar 2 tahun setengah. Mungkin karena dia anak pertama, sehingga Arif selalu membedakan dia dan Ulia, adik dari Karina. Tetapi bukan hanya itu, ada hal lain yang membuat dia harus selalu berkorban, yaitu Karina termasuk anak yang kurang tanggap atau kecerdasannya di bawah Ulia. Arif juga selalu berkata, Ulia lebih penting dari pada Karina, dan dia selalu menyusahkan orang tua, juga selalu membuat uang yang dikumpulkan Arif habis buat pengobatan Karina yang sakit-sakitan.
Sakit, memang sakit. Tapi Karina berusaha tegar, sebab dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. Bahkan ibunya sendiri tidak pernah bisa membela Karina bila Arif sedang marah, berbeda ketika Arif memarahi Ulia. Ibu selalu menjadi garda pertama saat omelan Bapaknya tertuju untuk Ulia.
"Ya, menikah! Kamu anak pertama, jadi kamu harus menikah agar beban Bapak berkurang untuk kalian!" ujar Arif menyakitkan hati perempuan itu.
"Tapi Pak, aku kan---"
"Gak ada tapi-tapian, Karina!" bentak Bapak memotong ucapannya. "Keputusan Bapak sudah bulat, dan Bapak sama Ibu sudah keluar biaya banyak untuk hidup kamu dari kecil hingga sekarang. Jadi, sudah waktunya kamu menikah dengan laki-laki pilihan Bapak!"
Jantung Karina berdetak tak beraturan, rasanya hampir berhenti mendengar gema suara dan kalimat Arif di telinga. Apa salahnya dengan Karina? Sebegitu terbebaninya kedua orang tua Karina terhadap dirinya itu, sampai-sampai kedua orang tuanya ingin segera melepaskan dia dari rumah itu.
Karina terduduk lemas, lalu menundukkan kepala. Dia tidak tau harus apa? Menerima atau menolaknya? Tapi kemungkinan Bapaknya tidak akan pernah setuju dengan penolakkan dia, sifat Arif terlalu keras untuk ditentang.
"Apa aku gak bisa menentukan hidupku sendiri? Kenapa hanya aku yang tidak boleh melakukan apa yang aku suka, Pak?" tanya Karina pelan, suara yang keluar dari tenggorokan begitu kecil, bahkan nyaris tidak terdengar.
"Apa kamu bilang, Karina?" Bapak kembali duduk saat mendengar ucapannya. "Menentukan hidupmu? Hei ... apa kamu pernah berpikir, huh? Kami sudah memberikan kamu kesempatan hidup dengan membiayai semua hidupmu dan juga pengobatanmu, apa kamu sudah lupa dengan semua itu, huh?" Arif mulai mengungkit semua yang sudah beliau keluarkan untuk anaknya sendiri.
Bagi Arif, uang yang dia keluarkan untuk Karina adalah hutang yang harus dibayar. Dia tidak mau rugi telah mengeluarkan uang banyak untuk biaya kehidupan, dan pengobatan Karina sedari kecil.
"Apa aku pernah mau begini? Aku pernah minta dilahirkan di keluarga ini? Aku gak pernah mau begini, Pak? Aku gak pernah mau dilahirkan di keluarga ini!" Suara Karina mulai meninggi. "Kalau saja aku tau akan begini jadinya, aku akan minta sama Tuhan untuk tidak dilahirkan dari rahim Ibu!" Nada suara Karina melemah, sedikit lirih. Hatinya sakit harus diungkit masalah uang dan kehidupannya. Perempuan itu berusaha menahan air yang hampir saja runtuh.