Seminggu kemudian.
Lamaran itu benar-benar terjadi. Ucapan Arif tidak bercanda, membuat Karina tidak bisa menolak lagi, dia dan Istrinya juga tidak mau menerima pendapat Karina. Kehidupan gadis itu benar-benar disetir bak mobil yang harus mengikuti apa kata mereka.
Mau tidak mau, Karina harus menikah, dan saat ini dia sudah berdandan yang cantik, dengan kebaya warna peach dan dibalut kain batik sebagai bawahannya. Hijab menutup kepala berwarna senada dengan kebaya. Diapun menuruni anak tangga dituntun adik dan ibunya. Sebenarnya, hati Karina ingin berontak. Tetapi ia tidak bisa kemana-mana, tak punya sanak saudara maupun tujuan untuk kabur. Mau tidak mau, gadis itu terpaksa menerima perjodohan ini.
Karina duduk di depan kedua orang tua calon suami pilihan Arif. Entah di mana Bapaknya kenal pemuda berkulit sawo matang dan tidak terlihat ketampanannya di mata Karina. Kemeja batik berwarna coklat tua dan celana hitam, itu pakaian yang dikenakan calon suamiku. Gaya rambut cepak dan tatanan yang klimis dibalur minyak rambut yang terbilang banyak, hingga rambutnya terlihat mengkilap. Tak ada yang istimewa menurut di mata Karina.
Kepala gadis ini menunduk kala tatapan mata itu tertuju untuknya. Bukan dia malu atau terpesona dengan tatapan laki-laki itu, tapi dia enggan menatapnya. Laki-laki bernama Dodi itu jauh dari segala kriteria dan bayangan yang ada di benaknya, Dodi juga tidak setampan mantan pacar yang baru Karina putus sehari sebelum lamaran ini.
Ya, Karina terpaksa memutuskan hubungan sepihak walau keduanya saling mencintai satu sama lain. Ketepaksaan itu membuat Karina seolah tidak rela melepaskan jalinan kasih yang sudah terbina semenjak mereka berdua duduk di bangku SMA. Laki-laki itu seolah tak rela juga tak terima dengan keputusan Karina, tetapi dia juga tidak berbuat banyak karena laki-laki bernama Wahyudi itu belum siap menikah muda. Apalagi dia juga belum punya pekerjaan. Mau tidak mau, akhirnya Wahyudi menerima keputusan Kekasihnya itu.
Hela napas berhembus dua kali. Hati Karina ingin sekali berontak oleh keputusan Arif kali ini. Bayangan demi bayangan buruk menghantui Karina.
"Baiklah, karena keluarga calon suami sudah datang, mari kita mulai saja acara pertunangan antara Karina dan Dodi," kata pembawa acara yang tak lain tetangga rumah Karina.
Gelisah, rasa ini yang sedang dia rasakan. Batinnya menolak, tetapi dia tak bisa pergi ke manapun. Duduk diam mengikuti prosesi lamaran hingga jari manis tersemat cincin emas putih yang beratnya tidak diketahui. Dirinya sempat menolak laki-laki itu menyematkan cincin, berusaha menarik tangannya. Tetapi Arif melotot pada Karina, sangat menyeramkan.
Serangkaian acara di jalani dengan sangat terpaksa. Tidak ada kebahagiaan yang tampak di wajahKarina. Dia menbenci ritual yang namanya perjodohan, lalu tidak ada kekuatan lagi untuk mengabaikan keinginan Arif. Selalu dia yang mengalah. Selalu dia yang harus mengikuti kemauan kedua orang tuanya, dan selalu saja ada ancaman bila Karina menolak kemauan kedua orang tuanya.
Lalu, keluarga calon suaminya mulai memadati meja makan. Mereka menyendok makanan yang sengaja disiapkan oleh Ibu dan tetangga yang membantu acara lamaran itu. Karina duduk diam di kursi bersama calon suaminya. "Kamu gak makan?" tanya Dodi, nama laki-laki yang baru saja dia ketahui di acara lamaran itu.
"Eh ... tadi udah makan kok, kamu makan aja!" sahutnya agak segan. Laki-laki itupun memakan-makanannya. Gadis itu kembali terdiam dengan wajah tertunduk. Ponsel pun menjadi sasaran untuk menghilangkan kejenuhan yang menghinggapinya dari tadi.