Waktu berlalu dengan sangat cepat. Keputusan sulit harus diambil. Menikah atau harus keluar dari rumah tanpa diakui anak lagi oleh keluarganya. Itulah kehidupan Karina yang penuh kepahitan. Saat ini, itu yang aku lihat dari sisi ceritanya. Entahlah, mungkin itu yang ada di benakku.
Aah ... apa yang salah dengan hidup dengan temanku ini? Aku lihat semenjak dari mengenalnya pertama kali hingga detik ini, dia orang yang sangat hati-hati dan tidak pernah sekalipun melakukan kesalahan atau tidak pernah berani dalam ucapannya selama ini. Aku sangat yakin, pada kedua orang tuanya pun Karina pasti akan sangat berhati-hati, mengingat keluarganya tidak begitu menyukai dia.
Lalu, dua bulan kemudian. Di mana hari H pernikahan Karina. Mendadak saja mereka menyuruhnya menikah tanpa sepengetahuan dia yang dijodohkan. Entah, saat itu rasanya dia ingin mati saja. Beberapa kali dia hampir mati karena bunuh diri dengan sebilah silet di pergelangan tangan.
Sikap keras Arif pada Karina membuat dia berhenti melakukannya, dengan sebuah ancaman akan membuatnya tak lagi bernapas seperti keinginan Karina saat itu. Tapi, gadis itu sebenarnya tidak ingin mati, dia hanya ingin menggertak kedua orang tuanya agar berhenti menekannya dengan perjodohan itu. Karina juga tidak bisa kabur ke manapun. Sebab, tak ada tempat yang harus didatangi untuk ia jadikan tempat tinggal sementara.
Di hari pernikahan itu, dia duduk di depan cermin besar, seluruh tubuh terpampang jelas di cermin. Kebaya putih dan bawahan batik menjadi pakaian pernikahan yang tidak pernah dia inginkan. Siger dari adat sunda menghias kepala walau dia mengenakan hijab. Gadis itu menghela napas, mata terlihat sembab walau di tutupi riasan sedikit tebal. Semalaman dia tidak tidur akibat menangis.
"Ya Tuhan, mungkin ini adalah jalan yang terbaik!" bisik batin Karina sedikit lirih, lalu menundukkan kepala. Rasa sakit di dada membuat pikiran teringat kembali bagaiama kedua orang tuanya berkata dengan bebas padanya. Tanpa peduli perasaan dia yang menolak perjodohan.
Gadis itu terdiam, lalu tangannya menyentuh dada. Kemudian mengepal erat. Di situ, ada rasa yang perih kala dia mengingat semua ucapan kedua orang tuanya. Batin gadis itu terluka, kedua mata terasa perih, sedikit memerah. Namun dia terus menahan sepanjang pagi agar deraian air mata tak lagi menetes deras di hari sakral itu. Dia tidak ingin terlihat bodoh atau terlihat tidak setuju di depan Ibu dan Bapaknya atas penikahan tak dia inginkan itu.
Namun, setiap kata seolah mengiris-iris tiap inci hatinya. Pada akhirnya bendungan kekecewaan serta kesedihan Karina tidak lagi bisa ditahan lama. Semua pertahanan runtuh bak cermin yang terjatuh, benteng tinggi yang sekian lama menampung air mata yang tertahan dalam lubuk hati hancur dalam menjelang pernikahan itu.
"Kak!" Suara Ulia, adik dari Karina meleburkan kesedihan batinnya. Ia bergegas menyeka air mata yang seolah tidak pernah mengering. "Sudah siap kan? Pengantin laki-lakinya dan penghulu sudah datang di bawah," kata adiknya menghampiri Karina yang sedang duduk tertunduk.
Ia menoleh setelah yakin air mata tak ada lagi yang menetes. Wajah anak berusia tak jauh darinya menatap heran, Karina mengyernyitkan dahi. Seketika ada rasa marah pada gadis di depannya itu. Ia terlihat sangat membencinya. Seorang gadis yang selalu dibela dalam hal apapun termasuk perjodohan. Karina seolah menjadi tameng buatnya. Sebab, karena Ulia, Karina harus menikah. Karena dia juga Karina dianggap beban, semua hal yang ada pada diri gadis itu selalu dibandingkan dengan adik satu-satunya. Di anggap remeh dan selalu dinomor duakan. Bagi Arif dan Tika, Ulia jauh lebih pintar dan lebih baik darinya. Dia juga dianggap tidak pernah menyusahkan kedua orang tua.
"Kakak habis nangis?" tanya Ulia. Persetan dengan sifat lugunya. Karina mulai membenci dia saat dirinya lahir ke dunia dan mulai menjadi bayang-bayang di hidup Karina.
"Gak!" katanya singkat, bernada suara sedikit sinis, dan kemudian dia berdiri. "Ayo kita keluar," sambung gadis itu tidak ingin memperpanjang masalah. Karina berjalan keluar lebih dulu, dia menyusul dan menyelipkan tangannya di lengan. Kemudian dia menyandarkan kepala dan menunjukan sikap manjanya yang sangat menjijikan.
"Kakak tau gak, aku sedih banget kakak menikah. Kalau gak ada kakak, nanti aku curhat sama siapa lagi?" katanya. Di pikiran Karina saat itu, semua ocehan Ulia omong kosong. Sebab, selama ini dia dan Ulia tidak terlalu akrab. Dia seolah menjaga jarak di setiap momen. Jangankan untuk curhat masalah apapun, menegur saja sebagai kakaknya pun tidak.
"Mmmh," jawab gadis berkebaya itu singkat. Tak ingin berkomentar.