Karina menunggu Dodi, dia merasa bersalah pada suaminya itu. Jam di dinding sudah menunjukan tepat diangka 12.00. Sudah terlalu malam untuk dia mencari Dodi. Kakinya tak bisa diam, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Jari jemarinya sibuk mengutak atik huruf dalam keypad ponselnya. Dia tak pandai merangkai kata, dia juga tidak berani berkata-kata. Karina takut Dodi marah padanya. Lalu menghapusnya kembali, tidak jadi dia kirim.
Sudah kesekian kali hembusan napas Karina berhembus. "Mas Dodi di mana ya? Kenapa dia belum puoang juga" bisik batinnya. Kemudian dia melongok ke jendela, jalanan sepi, gelap dan hening. "Apa aku telepon saja?" pikirnya lagi, menutup gorden. Batinnya resah, semua ini bukan semata-mata karena dia mulai jatuh cinta pada laki-laki itu. Tetapi dia hanya tidak mau mendapat ceramah dari kedua orang tuanya.
Karina mencoba mencari nomor telepon Dodi di ponselnya. Lalu mendengarkan nada dering, dia memberanikan diri setelah mempertimbangkan beberapa hal sesaat tadi. Namun tidak ada jawaban walaupun panggilannya berdering. "Aaah, kenapa gak di angkat?" bisik batin Karina kian kuatir.
Dia menghempaskan bokongnya di kursi. Kemudian merebahkan kepala di bantalan sofa. Tak terasa, kelopak mata perempuan itu sedikit demi sedikit menutup. Dia tidak bisa menutupi rasa kantuknya. Karina tertidur, kelelahan menunggu Dodi yang tak kunjung pulang di sofa dan dekat jendela ruang tamu.
Hingga pagi menjelang.
Dodi juga belum pulang. Sinar matahari membuat tidur nyenyak Karina terganggu, pelan-pelan kelopak mata berbulu lentik itu terbuka. "Jam berapa ini?" gumamnya pelan. "Jam 8, aku sudah ketiduran berapa lama?" Lalu dia melihat pintu rumah, belum terbuka sama sekali. Dia sengaja tidak menguncinya, takut Dodi datang saat dia tertidur seperti semalam. "Ternyata Mas Dodi belum pulang?" bisiknya lagi.
Dia beranjak bangun, hendak melangkah. Tetapi suara gedoran pintu membuat dia menghentikan langkahnya. "Buka! Cepat buka pintunya!" teriak Dodi. "Hei ... perempuan bodoh, apa kamu tuli, huh? Cepat buka pintunya!" teriaknya lagi menggedor pintu lebih kuat.
"Mas Dodi!" ujarnya, bergegas membuka pintunya. "Mas ... akhirnya kamu pulang!" kata Karina, kecemasan di wajahnya semenjak tadi berangsur-angsur hilang.
"Apa pedulimu, perempuan bodoh!" pekiknya menghempaskan tangan Karina dari lengannya. "Pergi dari hadapanku, wajahmu sangat memuakan dan bikin perutku mual!" umpatnya, terlalu menyakitkan hati Karina.
"Mas?" Karina tersentak mendengar ucapan Dodi.
"Kenapa? Kamu gak suka aku bilang beginj, huh?" katanya dengan mata terbuka lebar. "Kamu bisa pergi dari rumah ini kalau gak suka dengan perkataanku! Aku juga gak butuh kamu, perempuan gak berguna!" Laki-laki itupun pergi tanpa peduli rasa sakit yang dia timbulkan di hati Karina. Masuk kamar, dan ....