Esok harinya, Karina sudah sibuk di dapur sebelum Dodi bangun. Memasak sebisa yang dia buat untuk Dodi, setelah semalam dia menangis sambil membelakangi Dodi dan melupakan semua yang laki-laki itu katakan padanya, berusaha ingin lebih baik saat ini.
Seperti pesan Bapak, "Jadilah istri yang baik untuk suamimu, Kar! Jangan mengeluh dan jangan berharap ingin kembali ke rumah ini, Bapak tidak akan mengijinkan walau kamu ngotot!" Tapi dia tidak pernah tau apakah laki-laki yang menikahinya itu adalah suami yang baik untuknya?
"Baiklah masakannya sudah jadi," kata Karina sendirian di dapur. Dodi sudah berada di meja makan saat dia membalikkan tubuhnya. "Mas, kamu sudah bangun?" tanya perempuan itu sedikit kaget, tiba-tiba Dodi sudah berada di belakang, dan sudah berpakaian rapih dengan rambut klimis. Aroma parfum tercium ketika ia sudah di dekat meja makan, meletakkan masakkan terakhirnya dan duduk bersama Dodi di meja makan.
Karina sekuat tenaga menjadi istri yang baik di mata Dodi, menyendok nasi buat laki-laki yang saat ini asik dengan ponselnya, dan beberapa lauk yang aku masak. Laki-laki itu tetap diam, juga bermuka masam. Dia masih marah pada Karija.
Suara dering ponsel terdengar mengganggu sarapan mereka berdua ketika Karina hendak duduk di kursi. Keduanya sigap melirik ke layar ponsel, "Wahyu?" bisik batinnya. Bergegas ia mematikan, Karina terbelalak saat dia melihat ke arah Dodi. Rupanya laki-laki itu ikut melihat nama tertera di layar ponsel Karina. Tatapan tajam mengintimidasi dia tujukan pada perempuan itu.
Karina berusaha tidak peduli, meletakkan kembali ponselnya di meja. Tak berapa lama, suara ponsel kembali berdering. Perempuan itu kembali mematikannya. Ponsel itu terus berdering hingga sepuluh kali.
"Angkat saja teleponnya, mengganggu!" kata Dodi kesal, dia merasa terusik dengan suara dering telepon Karina.
"Gak usah, Mas. Cuma orang iseng, kok," katanya berusaha tenang. Namun jantungnya berdegub kencang. "Kenapa Wahyu telepon terus ya? Apa ada sesuatu yang mendesak?" pikirnya sambil mengaduk-aduk makanan yang dimasak dengan susah payah.
Dering ponselnya lagi-lagi berdering. "Angkat teleponnya! Apa kau tuli? Ini sudah kesekian kali ponselmu berdering dan itu sangat mengganggu sarapanku!!" ujar Dodi setengah berteriak. Dia terlihat sangat kesal mendengar suara dering telepon yang tak kunjung berhenti.
Tapi Karina mematikannya. "Kenapa kamu bisa sebodoh ini? Seharusnya diangkat, bukan mematikannya. Dia pasti akan meneleponmu lagi dan lagi," protes Dodi kesal. Benar apa katanya, ponsel itu sekali lagi berdering. Kali ini jaraknya lebih cepat.
Dodi beranjak bangun dan menyambar cepat ponsel Karina di meja. "Biar aku saja yang angkat!" katanya, lalu berjalan ke ruang tamu. Batin perempuan itu menjadi sangat cemas, bukannya Karina tak mau mengangkat, tapi dodi pasti tidak akan suka dan marah bila tau siapa yang menelepon dia di pagi hari.
"Halo!" Suara bariton Dodi semakin membuat kecemasan dia bertambah. Karina ketakutan. "Halo ... apa kau tuli, hah?" Suara Dodi semakin meninggi, dia sudah mulai hilang kesabaran dengan Wahyu yang tak menjawab teleponnya. "Halo ... apa kau tau ... kau sudah mengganggu wanita yang sudah bersuami dan menganggu waktu sarapan kami! Apa kau punya otak dan tau etika dalam bertelepon, huh?" oceh Dodi, kemarahannya kian menjadi, suaranya menggema seantero ruangan rumah ini.
"Dasar manusia tak tau diri! Menelepon tapi diam seperti orang bisu, bodoh, tolol dan tidak tau aturan!!" Umpatan kasar pun keluar dari bibir Dodi. Dia meluapkan rasa kesalnya pada Wahyu. Jantung Karina tak bisa diam, dia tau akhir dari cerita drama pagi ini, Dodi tidak akan memaafkan. Telepon dari Wahyudi membawa petaka buatnya di hubungan antara dia dan Dodi yang hampir membaik itu.