Karina tidur meringkuk sendirian di kamar. Dodi telah pergi bekerja sejam setelah melakukan hal menyakitkan padanya. Bukan hanya sekali, tapi dia melakukan secara kasar sebanyak 3 kali tanpa peduli pada perasaan perempuan itu.
Air mata dia terus menetes, rasanya sangat sakit. Bukan hanya tubuh saja, tetapi hatinya terasa nyeri. Entahlah, sebenarnya apa tujuan laki-laki itu menikah dengan Karina? Apa tujuan dia menyetujui perjodohan ini? Apakah dia ingin menjadikan perempuan itu sebagai alat saja? Rasanya kepala Karina kian tambah pusing memikirkan hal semua ini.
Karina merasa jijik kala dia teringat semua perlakuan Dodi di ranjang tadi. Seperti iblis yang haus akan berhubungan intim. Tangannya mulai bergerak naik-turun, membersihkan semua bekas noda sentuhan dan kecupan Dodi di tubuhnya. Dia seperti seorang gadis murahan. Lalu dia beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dari semua noda menjijikan Dodi di tubuhnya.
Tiga puluh menit kemudian, setelah dia keluar dari kamar mandi. Karina duduk diam dengan mata menatap ke depan cermin. Hanya helaan napasnya saja yang terdengar di tengah keheningan ruangan kamarnya itu.
"Aku gak tau ini benar atau tidak! Tapi, aku bisa mati bila terus menerus bertahan dengan!" bisik batinnya gundah. Kepala itu tertunduk. Rasa sakit yang dia rasakan selama beberapa hari pernikahan membuat dia merasa ada yang salah dengan pernikahannya. Bukan ada yang salah, tetapi memang salah dia menyetujui perjodohan yang selama ini tidak dia sukai.
"Aku harus bilang Ibu dan Bapak tentang masalah ini." Karina beranjak bangun. Lalu meraih ponsel berwarna biru di meja. Dia kemudian menekan tombol berwarna hijau, mendengarkan nada dering sebuah lagu band Indonesia yang cukup terkenal sebentar.
"Bu ...." kata Karina ragu, lalu terdiam setelah Ibu menjawab teleponnya. Jujur saja, dia tidak ingin menceritakan masalah rumah tangganya yang tak nyaman, apalagi keluarga dia begitu antipati padanya yang hanya anak buangan dan tidak pernah dianggap.
"Ada apa? Kenapa telepon Ibu?" jawab Tika ketus, nada suaranya tidak enak didengar dan seolah-olah tidak ingin diganggu oleh Karina.
"Aku ... aku ingin cerai!" kata perempuan itu takut-takut. Ia terlihat ragu menceritakan apa yang dia rasakan saat ini.
"Apa? Kenapa kamu bicara kayak begitu, Karina?" Tika terdengar kaget mendengar keinginan putrinya, dan semua itu sudah dia duga. Tika pasti tidak akan setuju dengan keputusannya ini. "Kamu sadar kan, kamu itu baru menikah dua hari. Sudah berapa banyak biaya yang sudah Bapak dan Ibu keluarkan untuk perayaan pernikahaanmu itu!"
"Tapi Bu, aku sudah gak tahan hidup dengan laki-laki kayak Mas Dodi!" Suara isakku mulai terdengar, mungkin terdengar pula di telinga Ibu.