Karina menghela napas, seakan-akan napasnya sulit untuk di hempaskan. Tiba-tiba raut wajahnya berubah, sorot matanya pun seolah menandakan bahwa dia sudah tidak melanjutkan ceritakan. Namun sedikit menarik aku ingin segera membuat cerita tentang kejamnya para laki-laki yang tak punya hati. Aku benar-benar geram, marah dan emosi pada laki-laki bernama Dodi itu. Semudah itukah dia memukul dan berkata kasar pada seorang wanita.
Ya, aku tau aku juga laki-laki. Tapi aku berusaha tidak melakukan itu pada istriku. "Minum dulu, Kar!" kataku menyodorkan sebotol air mineral yang kupesan lewat kode pada pelayannya.
Kepala yang semula tertunduk, kini mendongak. Menatap sendu botol minuman di meja. "Terima kasih!" Dia menegakkan tubuhnya, lalu membuka botol air mineral itu dan menengak setelahnya.
"Santai aja, gak usah buru-buru!" kataku melihat catatan yang kutulis di sela-sela Karina bercerita.
"Tapi elu kan mau segera pulang."
Senyuman tipis tercipta di bibirku. "Gue meminta ijin beri setengah jam lagi, lagipula di luar lagi hujan gede," sahutku. Aku paham, cerita kehidupan butuh persiapan yang matang dan mental yang kuat. Tidak banyak perempuan mau bercerita tentang kisah pahit dalam berumah tangga pada orang lain.
"Sekarang, elu udah siap bercerita lagi?" tanyaku setelah sepuluh menit Karina menenangkan diri. Karina mengangguk.
"Sebenarnya gue gak terlalu sanggup menceritakan bagian ini, tapi gue harus, agar semua perempuan tau bahwa keadaan psikis dari kekerasan rumah tangga bisa di sembuhkan dengan bercerita pada orang yang dipercaya," kata Karina bertekad, sorot matanya berkaca-kaca. Aku hanya tersenyum kecil. "Apalagi ucapan mertua yang di luar begitu hangat namun sangat mengerikan di dalamnya,"
"Sebenarnya apa tujuan elu bercerita masalah hidup elu ini sama gue, Kar?" Rasa penasaran bikin aku ingin segera mengetahuinya.
"Agar semua wanita di luaran saja tidak lagi tertindas oleh para laki-laki yang suka main tangan dan bermulut tajam. Gue gak mau mereka hidupnya dipenuhi bayang-bayang ketakutan dan terkena penyakit mental kayak gue," serunya berapi-api. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, hanya terdiam dan melihat tekad kuat dari seorang Karina yang dulu sering diremehin.
Sekarang aku mengerti, kenapa dia dulu seperti orang yang punya pikiran kosong. Bukan, tepatnya seperti orang yang banyak beban dan pikirannya tak pernah bisa fokus.
"Setelah delapan bulan menikah," kata Karina mulai bercerita lagi. "Gue belum dikaruniai seorang anak. Awalnya Suami gue gak masalah dengan itu, gue merasa tenang saat tau dia tidak terlalu peduli tentang anak."
"Bukan itu bagus? Terus kenapa elu bi--"