Di luar dugaan, Ratna, Ibu mertua Karina ikut ke rumah untuk mengontrol gadis itu meminum jamu buatannya. Terlihat wajah Dodi yang kesal, dia seolah menyesal datang ke rumah orang tuanya di lebaran waktu itu. Dahinya mengernyit, rahangnya sedikit melebar menahan amarah. Jari-jari mengepal erat di setir mobil. Dia benci rencana Ratna itu.
"Kamu kenapa, Dod? Gak suka Ibu ikut kamu ke Jakarta?" Rupanya Ratna menyadari raut wajah tak suka Dodi di kaca spion tengah.
"Gak ... gak kok, Bu!" elak Dodi, berusaha menebar senyum agar Ibunya tidak curiga.
"Yakin kamu?"
Dodi mengangguk.
"Terus kenapa wajahmu ditekuk begitu?" Mata Ratna menyipit, dia sangat hafal tabiat Dodi sejak masih kecil. "Ibu hafal lho, sifat kamu itu! Jadi jangan bohongin Ibu." Nada suara Ratna seolah mengancam, begitu lembut tapi memberi kesan aura ketakutan yang sangat besar. Karina tidak berani ikut campur urusan ibu dan anak itu, dia hanya bisa sedikit menunduk sambil terus mendengarkan pembicaraan mereka.
"Gak ada, Bu! Apa Dodi harus tertawa terbahak-bahak biar gak kelihatan senangnya?" sergah Dodi, watak keduanya agak keras. Tidak ada yang mau mengalah.
Apakah keluarga mereka memang berbicara seperti itu? Saling tidak ada yang mengalah dan tidak peduli ada orang lain di sekitar mereka.
Roda mobil berhenti di halaman rumah. Karina bergegas turun dari mobil, lalu di ikuti Ratna dan Dodi turun paling terakhir. Karina membuka pintu, "Bu, ayo masuk!" ajak perempuan itu tetap ramah, walau sikap mertuanya membuat jantung itu tak pernah tenang degubnya.
Dodi masuk langsung masuk kamar. Tanpa peduli di ruang tamu ada Ibu kandungnya. Ratna menyandarkan kepala, kedua netranya sedikit melebar dengan dahi mengernyit jelas. "Apa-apaan anak itu, tidak punya sopan santun pada orang tua!" gumamnya pelan. Tetapi Karina masih mendengar apa yang dikatakan Ratna untuk Dodi.
"Oiya, Bu, Ibu mau minum apa? Biar Karina yang siapkan!"
"Iyalah, kamu yang siapin, masa Ibu. Udah cepat, sediakan Ibu teh hangat," ucapnya judes. Karina hanya bisa tersenyum kecut, lalu pergi ke dapur dan membuatkan teh hangat keinginan mertuanya itu.
Tak lama, Karina kembali ke ruang tamu. Dia meletakkan teh itu di meja. Perempuan itu duduk di samping mertuanya. Memandang takut ke wajah Ratna yang sedang menyeruput teh manis hangat itu.
"Siapa suruh kamu duduk di sofa?" Tiba-tiba saja ucapan Ratna membuat Karina tersentak. "Derajat antara menantu dan mertua berbeda. Kalau mertua duduk di sofa, menantu duduk di bawah!" ujarnya ketus. Tak sedikitpun ada keramahan dan kelembutan di setiap kalimatnya.
Karina mengangguk, kemudian duduk di lantai. Ratna tidak peduli dengan menantunga walau dia menginginkan seorang cucu dari rahim Karina.
Sepuluh menit kemudian, Ratna berdiri. Dia sudah menghabiskan teh manisnya. "Bawakan koper Ibu ke kamar. Ibu mau istirahat!" Belum satu hari, setiap ucapan Ratna membuat Karina semakin tertekan. Dia merasa hidup di neraka.
"B-baik, Bu!" Karina menarik koper mertuanya. Berjalan di depan sambil menunjukan kamar untuk mertuanya itu. "Ini kamar Ibu, aku harap Ibu nyaman dan betah tinggal di sini, ya!"
Ratna hanya berdehem saja. Matanya jadi jelalatan, menelisik setiap sudut dan furniture yang ada di kamar itu. Dia juga mengecek kebersihan kamar itu, untungnya tak ada debu yang menempel di setiap furniture kamar. Jantung Karina kian berdegup, dia melihat apa yang Ratna lalukan.
"Cukup bersih dan rapih," puji Ratna.
"I-iya Bu, t-terima kasih. Kalau begitu aku permisi dulu, dan selamat istirahat," kata Karina. Dia hendak keluar.