"Jadi, dia ngomong begitu sama elu, Kar?" tanyaku menggebu-gebu.
Perempuan itu mengangguk. Aku kesal, marah, dan enek mendengar cerita Karina tentang omongan Dodi. "Sialan banget tuh, cowok!" kataku sambil menggebrak meja. "Menghina perempuan dan menganggap perempuan sebagai alat berhubungan badan!" sambungku semakin geram.
"Terus, elu diam aja dihina kayak gitu?" Emosiku semakin jadi kala jawaban Karina hanya anggukan kepala. "Kenapa elu bego banget sih, Kar? Seharusnya elu bales tuh, laki-laki. Mulutnya kayak perempuan banget!" Aku geregetan sambil mengeratkan jari-jari. Mengepal kencang. Rasanya ingin menonjok wajah Dodi berkali-kali sampai babak belur.
"Iya, gue bego banget emang! Andaikan bunuh diri diperbolehkan, mungkin gue lebih baik bunuh diri biar penderitaan ini berakhir dengan cepat!" ujar Karina putus asa.
"Eh, gak gitu juga sih, gue hanya kasih pendapat aja. Sekali-kali elu ngelawan biar dia paham bahwa elu bisa marah atau melawan dia. Biar berhenti nyakitin elu, begitu maksudnya," sergah aku tidak mau Karina menjadi sedih dan menambah beban hidupnya.
Karina hanya terdiam. Lalu menunduk. Aku jadi merasa bersalah pada Karina atas ucapanku tadi. "Sudah, jangan sedih, gak yang perlu elu tangisi buat laki-laki kayak dia. Maaf ya, gue gak bermaksud ngatain lu, kok!"
"Iya, Ndra!"
"Lebih baik kita hentikan saja dulu cerita ini. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi dan elu bisa ceritain semua masalah elu itu," kataku sambil membereskan alat rekam dan alat tulisku.
"Tunggu!" tahan Karina menahan lenganki biar tidak pergi. Aku hanya menatap sebentar lalu duduk kembali. "Sudah gak ada waktu lagi. Gue harus ceritakan semua cerita kehidupan ini sama elu!" pungkasnya ada yang aneh. Hal itu terlihat dari mimik wajahnya yang cemas.
"Oke!" Aku meletakan kembali alat perekam dan catatan di atas meja. "Terus, apa yang terjadi setelah itu?"
"Gue hamil dua bulan kemudian!"
"A-apa?" Ini menakjubkan. Di luar nalar pemikiranku.
****
Jadi, dia tetap bertahan hidup dengan Dodi. Baginya itu mungkin jalan satu-satunya buat dia. Hidup bersama dengan laki-laki yang tidak pernah mencintainya dan mempunyai sifat tempramental. Karina berjanji pada dirinya sendiri akan menjalani hidup yang terasa pahit. Karina bukan bodoh, dia tau betul, hidup dia tidak akan mudah bila tetap bersama Dodi, dan kurasa ini jalan terbaik dari pada dia selalu bergantung pada kedua orang tuanya yang selalu perhitungan masalah uang.
Dia juga bertekad akan membuat Dodi senang, hidupnya pasti tidak akan ada masalah atau bertengkar. Ya, ini yang dia harus lakukan semua agar bertahan hidup dengan laki-laki itu.
Lambat laun, hidupnya berjalan hingga dia dinyatakan hamil. Ya, dia hamil saat usia pernikahannya memasuki hampir genap satu tahun. Dia terkejut kala kedua netra ini melihat dua garis merah di alat tes kehamilan. Terdiam di kamar mandi dengan perasaan ragu dan takut.
"Bagaimana ini, a-aku hamil?" Dia tidak tau Dodi akan suka atau tidak dengan kehadiran anak yang sedang dikandung itu. Sebab, tak pernah sekalipun dia membicarakan tentang anak. Saat Karina tidak kunjung hamilpun, Dodi tidak pernah menyinggung sedikitpun tentang anak yang kini muncul di rahimnya. Bahkan dia harus bertengkar dengan Ratna.
"Apa Mas Dodi akan suka dengan kehamilanku?" bisiknya lagi. Berjalan mondar-mandir di kamar mandi yang lumayan lega itu. Dia menjadi ketakutan dengan kehamilan yang tiba-tiba dan tanpa direncanakan itu. "Tidak, aku yakin dia akan suka. Aku yakin dia mengharapkan kehadiran anak ini juga," pikirnya.
Lalu berhenti bergerak, "Mudah-mudahan ... anak ini bisa merubah sikap Mas Dodi, dan anak ini bisa menjadi pembawa rejeki juga mempererat tali pernikahan kami ke depannya," pikir dia lagi.
Saat itu Karina memang berharap banyak akan hadirnya seorang anak di rahimnya, agar kehidupan yang semula bagai neraka bisa menjadi lebih adem dan tenang. Tapi, semua harapan yang ada di pikirannya sirna. Layaknya sebuah angan-angan belaka saja.