Malam, tepat jam 12. Perut Karina merasakan sakit yang tidak tertahankan. Ia merintih, mengaduh, dan tersiksa sendirian di ruang tamu. Dia tidak bisa tidur, reaksi ini tidak biasa. "Aduuh, perutku!" rintihnya memegang perutnya. "Ada apa ini? Kenapa sakit banget?" Rasa sakit itu sudah menjalar ke semua bagian perut Karina.
Perempuan itu tidak berani membangunkan Dodi, semenjak kata-kata menyakitkan itu keluar dari bibirnya, Karina tidak pernah mau mengeluh di hadapan laki-laki brengsek itu. Semua dia rasakan sendiri, di hadapi sendiri, berusaha tidak tergantung pada Dodi.
"A-apa ini?" cairan bening merembes di baju dasternya. Cairan bening bercampur darah dan sedikit berbau. Kecemasan di dalam dirinya mendadak membuat dia takut, takut kehilangan janin yang menjadi harapan satu-satunya dia hidup hingga sekarang. "Tidak, Ya Tuhan ... aku harap ini bukan apa-apa!" pikir Karina, semakin besar rasa cemas itu menyelimuti dirinya.
"Mas ... Mas Dodi!!" teriak Karina terpaksa. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain minta tolong padanya. Perempuan itu juga tidak bisa pergi ke mana-mana, sebab, hari sudah sangat malam. "Mas Dodi ... tolong aku Mas!" teriaknya sekali lagi.
"Aaah ... berisik banget!" gerutu Dodi, dia enak-enakkan tidur di kasur empuk dan ber-ac tanpa mau tau apa yang terjadi pada istrinya saat ini. Dia menarik bantal di sebelahnya, lalu menutupi telinga dengan bantal. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut kemudian.
"Mas ... aku mohon, tolong aku. Perutku sakit sekali!" teriak Karina membuat emosi Dodi semakin meninggi. Laki-laki itu bangun dan turun dari ranjang, keluar kamar dengan membanting pintu keras-keras.
Braak.
"Berisik!" bentaknya. "Apa kamu buta, lihat sudah jam berapa ini?" bentaknya lagi sambil menunjuk ke arah jam di dinding.
"T-tolong aku ... Mas, p-perut a-aku s-sakit banget!" kata Karina lirih, menahan rasa sakitnya.
Dodi berdecih. "Rasakan sendiri! Itu mau kamu kan? Jadi gak ada urusannya sama aku!" kata laki-laki itu acuh. Dia membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah.
"T-tunggu Mas, tolong bantu aku kali ini saja. Tolong Mas, aku gak mau kehilangan bayiku!" pinta Karina memelas. Dia terus memegang perutnya, tubuhnya sedikit membungkuk dan rasa nyeri diperut membuat keringat mengucur bak air mancur.
"Apa peduliku! Bukankah aku sudah memberi saran padamu agar menggugurkan kandungan itu, tapi kamu terlalu tuli dan keras kepala!" kata Dodi angkuh, bahkan dia tidak sedikitpun menoleh pada Karina.
"Tapi Mas ... ini ... ini anak kita, ada darah kamu yang akan mengalir di tubuh janin ini, Mas!" Saking sakitnya, Karina meneteskan air matanya. Dia sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang terus menerus membuat lemah dan tak berdaya.
Dodi balik kanan, berjalan ke arah Karina dengan senyuman nyinyir dan senang melihat perempuan itu menderita. Lalu membungkukkan tubuh dan menatap lekat-lekat wajah Karina yang menahan sakit. "Anakku? Darah dagingku? Bagaimana kamu tau itu anakku, Karina? Itu hanya anak haram hasil dari perselingkuhanmu dengan Wahyu, jadi, jangan pernah bilang itu anak aku!" pungkas Dodi, semua kata dalam kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu membuat Karina kian tersiksa.