Aku menghela napas panjang. Lalu, "Edan!" Berkata tanpa peduli Karina akan sakit hati atau tidak. Pasalnya, perempuan di hadapanku berharap bisa menikah dengan Wahyu, tetapi kesempatan itu datang lalu ditampiknya. Bahkan dia membuat Wahyu kecewa dan menyia-nyiakan niat tulus laki-laki itu. "Kenapa elu bisa sebodoh itu, mengecewakan laki-laki yang benar-benar mencintai setulus hati?" tanyaku sangat geram. Memandang kesal ke Karina yang terdiam. Menurutku, mungkin dia sedang menyesali apa yang dia lakukan waktu itu.
"Ya, gue emang bodoh juga naif, tapi semua ini dilakukan hanya ingin membuktikan bahwa gue bisa hidup dengan laki-laki gila seperti Dodi."
"Membuktikan apa? Sama siapa elu mau membuktikan kegilaan itu, Karina?" Aku terbawa emosi. "Keputusan elu itu justru bisa mati di tangan laki-laki gila itu, Karina!" tukasku kesal. Baru kali ini aku mendapati perempuan yang membuat keputusan tanpa berpikir. Dia sudah membuang laki-laki baik demi laki-laki brengsek kayak Dodi.
"Gue ke sini mau cerita ini di dengar dan dijadikan Novel sama elu. Bukan dengar ocehan atau ceramahan dari elu yang menyudutkan gue, Ndra!" Kata-kata tajam Karina membuat aku kaget. Bisa-bisanya dia berkata seperti ini padaku. Padahal dia yang meminta dan memohon agar ceritanya mau dijadikan novel. Aku benar-benar tidak berminat dengan cerita dia atau kisah nyata lainnya. Ucapannya benar-benar membuat aku kecewa.
"Ngah ... apa elu bilang?" pekikku berdiri. Aksiku ini membuat puluhan pasang mata mengarah pada kami berdua. Memandang jijik dan takut. Menjadi perhatian pengunjung kafe sekali lagi. "Bukannya elu yang maksa dan memohon sama gue agar gue bisa menulis cerita elu ini?"
"Ya, itu benar. Tapi gue liat elu cuma penulis ecek-ecek yang butuh cerita bagus dari gue atau orang lain!"
"Gila! Gue emang penulis ecek-ecek, tapi gue paling gak suka diremehin kayak gini!" bentakku. Sekali lagi aku menjadi pusat perhatian. Lalu kusambar tas, buku catatan dan alat perekam kumasukkan. Aku menghela napas, mencoba mengontrol emosi dalam diri ini. "Kalau begitu gue pergi! Elu bisa cerita sama penulis lain yang lebih profesional dari gue. Mungkin bisa membuat cerita elu ini menjadi fenomenal seantero jagat Indonesia Raya." kataku kesal. Hendak melangkah dari kafe itu.
"Tunggu!" tahan Karina untuk kesekian kalinya. "Iya, gue emang bodoh, gue salah ngatain elu penulis abal-abal. Maafin gue, Ndra. Gue ngomong gitu karena lagi emosi!" katanya menyesal. Aku bisa lihat itu dari sorot matanya.
Aku berdehem. Segan sebenarnya untuk duduk kembali ke kursi. Tetapi wajah perempuan di hadapanku benar-benar terlihat tulus meminta maaf padaku. "Oke! Kita bisa lanjutin," ujarku duduk kembali ke kursi. Mengeluarkan buku catatan, alat tulis dan alat perekam kembali ke atas meja. "Terus apa yang terjadi setelah itu?"
"Akibat penyiksaan itu, gue kena saraf kejepit dan rahang gue bergeser!"
"Apa?" Aku terkejut. Kemudian menggeleng-geleng kepala dengan senyum tipis. Dan herannya, dia begitu ngotot untuk terus tinggal bersama laki-laki bejat tidak berperasaan itu. Andaikan aku jadi Karina, aku akan meninggalkan dia kemudian menikah dengan Wahyu. Itupun kalau memang alasan kuat Karina masalah tempat tinggal. Aku yakin Wahyu akan memberikan tempat aman bagi Karina dan anaknya. "Terus, laki-laki sialan itu bertanggung jawab setelah tau elu mengalami saraf kejepit?" selidikku Penasaran.
Karina tidak menjawab, dia diam sambil memainkan selembar tisu. Aku sudah tidak tau lagi harus berkata apa. Semua di luar tanggung jawabku sebagai penulis. Menasehatinya pun percuma, semua sudah terjadi pada dia. Aku juga tau apa yang akan dia jawab atas pertanyaanku.
"Itu karena elu terlalu bodoh!" tekanku. Aku cuma mau dia sadar bahwa Dodi bukan pilihan terbaik. Tapi apa mau dikata, ini sudah keputusan dia. Karina terdiam mendengar ucapanku. "Maaf, gue berkata berdasarkan analisis dari cerita elu ini!"