"Ulia, cepat ambilkan payung buat Ibu dan juga kakakmu!" perintah Tika. Ulia mengangguk dengan terpaksa, dia memandang sinis Karina yang sudah mulai kedinginan.
Tak lama, adik satu-satunya Karina itu kembali keluar membawa dua payung. Tatapan sinis masih mengarah pada Karina. "Ini Bu, payungnya!" kata gadis itu. Tika bergegas membuka pintu pagar dan memayungi Karina. Masih ada senyuman hangat di bibir Tika, tetapi tidak dengan Ulia.
Sikap gadis itu sangat berbeda kala Karina menikah. Begitu baik, ramah dan manja, namun saat itu, sikapnya berbanding terbalik dari saat itu.
"Ya ampun, Karina. Kamu lagi ngapain di sini? Baju kamu basah semua, dan ...." Kalimat dari bibirnya berhenti terucap. Dia cukup kaget saat melihat perut Karina yang membesar. "Kamu ... h-hamil?" tanya Tika tak percaya.
Perempuan malang itu hanya bisa mengangguk lemah, sangat lemah, bahkan hampir kehilangan tenaga. "Ya Tuhan ...." Tika hampir kehilangan kata-kata. Telapak tangannya spontan menutupi mulutnya, kemudian pelan-pelan dia menyentuh perut buncit Karina. "Ini c-cucu I-ibu?"
Sekali lagi Karina cuma mengangguk. Tangan Tika mulai mengelus-elus perut Karina, begitu bahagia. Tetapi tetap saja, hanya Tika merasa bahagia melihat Karina pulang ke rumah dengan perutnya buncit saat itu. "Ngapain dia ke sini? Ngeselin banget! Seharusnya kau pergi jauh-jauh sama suamimu itu, bukan kembali lagi ke rumah ini!" gerutu Ulia, seolah dia merasa tersaingi oleh kakaknya sendiri.
"Oiya, ayo kita masuk. Kamu pasti kedinginan, kasihan juga cucu Ibu." Tika berujar sambil membantu Karina membawa kopernya. Karina menuruti, ikut masuk bersama Ibunya. "Kamu duduk di sini, Ibu ambilkan handuk dulu!" Ibunya pergi ke belakang rumah setelah Karina mengangguk.
Karina duduk terdiam, ia bagai orang asing di rumahnya sendiri. Mata itu melihat keadaan yang sudah ia tinggalkan kurang lebih selama setahun. Tak ada yang berubah, semuanya sama terkecuali cat dinding rumahnya. Berwarna merah muda.
Lalu, Tika datang membawa handuk saat ia hendak ingin melihat-lihat. Kemudian, "Ini handuknya, cepat seka badanmu biar gak kedinginan!" wanita paruh baya itu memberikan handuk ke pundak Karina.
"Terima kasih, bu!" Perempuan itu mulai menggosok tubuhnya yang basah kuyup. Duduk kembali di sofa.
"Ulia, bikinin kakakmu teh dan ambilkan baju ganti buatnya!" Wanita itu duduk di hadapan Karina dengan wajah sangat kuatir. Selama ini, Karina tidak pernah menangis sesegukan seperti tadi di depan pintu. Tapi sekarang, Ibunya merasa ada yang berbeda.
Dipandangi lekat-lekat tubuh yang hampir membiru itu. Tubuh putri bungsunya terlihat kurusan, matanya terus menelusuri tiap bagian tubuh yang terbalut baju panjang yang seluruhnya terkena air hujan. Lalu, mata itu berhenti pada bagian luka lembam. "Tanganmu kena, Kar?" tanya Tika setengah menyipitkan mata. Karina bergegas menutupi luka lembam yang hampir berubah menjadi ungu.
"Gak apa-apa, Bu!" elak Karina tak ingin Ibunya kuatir. Rencana dia ke sini hanya ingin menyampaikan niatnya ingin bercerai.
"Apa kamu bahagia bersamanya, Kar?" Pertanyaan Ibunya membuat dia kaget. Dia mendongakkan wajah. Menatap sendu wanita yang melahirkannya itu. Lalu dia menundukkan wajah sambil menggeleng. Tika hanya mendesah. "Apa yang sudah dia lakukan padamu? Katakan pada Ibu, Karina!" lanjutnya tegas.